Setia Nelayan oleh: Frumentius Somerpes


Terhentak ku terjaga. Seolah tak percaya bersamanya sebuah pertanyaan ku bawa serta dari mimpi-mimpiku : “inikah hidup?”. Aku bermimpi tentang kenyataan mengais rejeki para nelayan yang membuang kail lantas menarik gembira menemukan berkah dari seekor ikan besar setidaknya buat makan sehari atau kalau lebih buat membeli sebungkus rokok Djitoe. Mereka bergembira karena katanya disamping mengais rejeki, mengail adalah sebuah hiburan. Aku membayangkan mereka mendayung sampan pelan sambil mendendangkan balada Pelaut atau mungkin kidung-kidung nostalgia tentang masa indah berdua bersama istri mereka yang dulu masih muda, kencang, padat, seksi dan menggiurkan. Mereka melempar kail dari sampan mereka yang yang kecil bagai bale-bale (tempat istirahat dari bambu) terapung lalu sebentar tersenyum menarik seeokor cumi besar buat lauk malam nanti dan kalau lebih buat membeli buku anak-anak mereka. Aku juga berpikir bahwa mereka menghidupkan motor  tempel mereka menuju laut yang lebih dalam, membuang jala sambil bersiul dan bernyanyi lalu kemudian menarik lagi dengan jala yang penuh ikan besar teman ubi rebus sehari dan kalau lebih buat bayar uang sekolah / membeli seragam anak-anak mereka. Terakhir aku bermimpi melihat mereka menyelam ke dasar lautan sambil hatinya bersyair tentang indahnya panorama dan moleknya jagad lalu kemudian mengangkat kepala di permukaan dengan tangan menggengam seikat ikan besar atau sekantong siput dan kerang buat sahabat nasi nanti malam dan kalau sisa buat menabung dan berbelanja.
Terhentak lagi ku terjaga, sebuah pertanyaan ku bawa serta : inikah hidup?”. Ternyata aku salah. Kenyataan menyangkal semua mimpiku. Hidup dan berjuang di dalamnya memang tidak segampang membalikan telapak tangan. Aku mengalami semuanya dari ketaksengajanku mencoba dan justru di sana, tidurku terjaga dan mimpiku buyar dihempas ombak di dasar karang. Di atas bebatuan pada pesisir tak bertuan, ku duduk terpekur diam lalu membuang umpan pada mata kail iseng. Aku menungggu lama sampai mataku jenuh memandang bebuih air garam dan telingaku penat mendengar deburan ombak memecah. Sebentar kantukku datang lalu tidur sekejap. Tak satu pun ikan kutangkap. Anehnya lagi di ujung mata kailku masih menempel umpan yang sama. Tak seekor ikan pun yang mau makan. Sebentar kemudian kantukku kembali bertamu pada mataku yang kian jenuh. Ombak mengakak tawa dalam deburan serentak membawa kailku tersangkut pada karang. Terakhir adalah keputusanku menarik paksa antara kecewa dan marah. Aku kalah pada sebuah kesabaran.
Dalam tanya “inikah hidup ?” aku menemukan jawabannya. Menjadi nelayan, entah pilihan ataupun keterpaksaan tidaklah gampang. Mereka harus berada pada titik meminum madu atau meneguk tuba, menyanyi suka atau menangis duka, mujur atau sial. Yang ini bukan lagi pilihan tetapi kenyataan yang harus dihadapi. Benar kalau  mata kita memandang badan mereka hitam legam dan gigi mereka karat lantaran teman hidup mereka adalah laut. Senjata mereka adalah mata kail  dan jala, berperang melawan kejenuhan, tak mau kalah pada hujan dan panas. Tidur mereka adalah doa agar besok rezekinya lebih banyak dan malah melantunkan harap supaya badai tak pernah ada. Aku tak mau membayangkan tentang kenyataan kalau mereka tak memperoleh apa-apa namun jika sempat, batinku terisak dan pada pipiku mengalir air mata tentang kepahitan yang mereka hadapi. Andai hari ini tak seekorpun ikan yang mereka dapat, aku selau bertanya : “bagaimanakah makan malamnya atau dengan apa mereka membeli seragam dan buku anaknya atau juga mungkinkah mereka menabung dan berbelanja ?”
Memang terasa pahit jika ingin membayangkannya, namun siapa bisa menyangka bahwa dari kesabaran mereka menunggu, kesetiaan mereka menanti, mata kail dan jala-jala mereka justru memberi mereka berkah. Entah bagaimana mereka mengatur uangnya dari penghasilan yang tak tentu, namun yang pasti bahwa pada mereka ada ketekunan dan keberanian. Tak ada ketakutan untuk mencoba dan tak ada keraguan untuk terus berjuang. Berjalan tapak demi tapak walau peluh memandikan tubuh, berenang biarpun terengah-engah, mereka menemukan secercah terang pada gelap yang memaksa mereka berjuang keluar. Terang itu adalah berkah yang mereka terima detik demi detik dan hari demi hari hingga mereka dapat hidup, menghirup napas dan malah sanggup menghidupi keluarganya. Pertanyaan “inikah hidup?” rasanya seperti keajaiban mana kala kita menemukan bahwa dari anatara mereka malah mengantar anaknya sampai menegnakan toga sarjana.Terhentak ku terjaga, lantas sebuah tanya pada ego “mengapa aku tak bisa?”