Minggu, 19 Juni 2011

SAATNYA AKU BANGUN


Aku belum mau beranjak sedikit pun dari segi empat tempat tidurku. Mataku masih terasa dipaksa pejam oleh Sang Dewa yang memiliki mimpi alias dewa tidur. Semakin aku mencoba membalut tubuhku dengan sarung tipis pemberian nenek buyutku. Udara semangat begitu tak bersahabat ibarat tidur di atas genangan air, apalagi tempat tidur bambuku yang hanya dialasi sehelai tikar dari anyaman daun enau, makin membuatku gemetaran. Semalam aku hampir tak bisa tidur, cuaca musim panas membuatku tidur bagai mengukir sebuah tanda tanya. Aku tak pernah masuk ke dalam ketaksadaran, apalagi memeluk mimpi-mimpi  dan aku pikir inilah saatnya bagiku untuk membalaskan dendamnya.
Agaknya aku tidak pernah diberi kesempatan. Semalam aku tak bisa tidur karena kedinginan dan pagi ini, baru saja aku mencoba memejamkan mata, penjual kue sudah berteriak-teriak menjajakan onde goreng dan pore-rorenya. Tidak hanya itu saja, bunyi kendaraan kedengaran hiruk pikuk dan kian bising, suara tukang ojek yang memanggil-manggil penumpang, suara tempa besi dan skap kayu  dari bengkel besi dan  kayu, langkah-langkah kaki dengan sandal jepit yang menampar aspal dan masih banyak lagi bunyi-bunyian lain yang memaksaku untuk memberi keputusan melepaskan tidur dan mencoba bangun walau harus merayu kantuk dengan mengucak-ngucak mata dan meneguk kopi sisa semalam. 
Benar, aku memang masih ingin kembali meraih mimpi dalam tidurku yang terusik hawa jagad semalam. Aku masih ingin membalut tubuhku lebih lama dan membaui aroma pagi dalam mati sementara, namun semuanya sia-sia. Aku kehilangan segalanya. Kesempatan hilang semalam dan sekarang.... mau digantikan, malah dicolong maling-maling jahat lewat kebisingan dan kegaduhan.
Sekarang, mataku tak sengaja menatap ke dinding kamar. Seolah menukik dan mengikuti irama hentakan jarum detik dan kemudian aku tersadar bahwa memang benar waktu sudah lama berjalan jauh meninggalkanku. Sebuah kesadaran yang baru menghampiriku, menggauliku, dan kemudian berbisik tentang kenyataan bahwa aku sedang terpenjara. Ya...benar, aku memang sedang terpasung oleh sebuah mental yang lantas membuatku tetap berada di pinggir jalan sementara orang lain yang aku tonton, berjalan maju dan menjauhi aku.
Mengapa aku marah pada pedagang kue, tukang besi dan kayu, pejalan kaki dan tukang ojek padahal mereka sedang mengejar waktu dan memburu nasib dalam hidup yang masih harus terus diperjuangkan ?  Aku telah lama buta dan malah telah kehilangan beberapa fungsi  panca inderaku. Mataku tak dapat melihat, telingaku tak mampu mendengar dan hidung tak bisa membaui. Aku telah berkali-kali memaki kenyataan yang seharusnya menjadi cambuk.  Harusnya teriakan kesibukan adalah lonceng dan dan bunyi mesin kendaraan adalah panggilan karya. Mengapa aku malah tidur dan lebih tergiur untuk menggauli sarung dan meniduri bantal ?
Sekarang aku sadar, mengapa aku tetap menjadi aku yang sekarang sementara orang lain malah berlomba-lomba menggapai bendera di puncak pinang. Yang kusadari bahwa ketika oranng lain bekerja, aku memeluk bantal. Ketika orang lain membaca, aku malah bercengkerama. Dan ketika orang lain berlari mengejar kemapanan, aku malah menyelam dasar telaga mati dan statis yang malah menghancurkan aku. Aku telah lama diam lantas kehilangan waktu, namun sekalipun demikian, bangunku pagi ini rasanya tidak sia-sia. Mengapa tidak ?
Pagi yang mengecewakan serentak mejadi guru tentang arti kehidupan. Pagi ini adalah jendela  dan sekaligus gerbang untuk ku mencoba masuk. Aku disadarkan akan pentingnya waktu dalam hidup. Sedetikpun waktu itu sebetulnya adalah uang dan semenitpun saat itu sebetulnya adalah perubahan. Sekarang sudah saatnya aku tersipu, bangkit berdiri dan mengejar ketertinggalanku. Mencapai sukses memang tidak sekedar mengukir mimpi-mimpi. Meraih keberhasilan tidak Cuma berkayal dan berspekulasi. Tindakan adalah jalan menuju sukses. Sebab tanpa mencoba bertindak aku sudah pasti Cuma menjadi penonton lesu sambil gigit jari yang menyaksikan orang lain memeluk trofi dan mengenakan medali. Sekarang saatnya.....ya sekarang. Kalau bukan sekarang, kapan lagi ? tak apa kalau aku berakit dan berenang ke hulu demi kebahagiaan nanti dari pada aku berakit nanti dan senangpun tak mungkin datang pada uzurku dan rentaku di pinggir kuburan.ha.......ha.......ha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar