Rabu, 23 November 2011

OPINI


           
Komunitas Adat dan Toleransi Keluarga
Somerpes Frumentius


            Banyak pandangan sinis tentang kampung entah sebagai tempat yang kuno pun terisolasi, bahkan menjadi stereotip bahwa kampung adalah cerminan kebodohan dan wajah kemiskinan. Saya tidak bisa mempersalahkan mereka, sebab mungkin benar, tatapi saya lebih cenderung untuk mengatakan “tidak”. Pada kesederhanaan dan kemiskinan para penduduknya, sebetulnya terdapat kekayaan paling bernilai yakni keakraban komunitas kampungnya. Mereka saling memahami dalam ketulusan, saling menghargai dalam kerendahan hati, dan saling memberi dari kekurangan. Alasan sederhana bahwa mereka hampir hidup dari satu garis keturunan yang sama atau paling tidak mereka telah mengikat dirinya dalam sebuah komunitas keluarga besar. Hal ini dipertegas Tule dalam Rancang Bangun Nagekeo (2007:157). Menurutnya, faktor pemersatu masyarakat Nagekeo, khususnya masyarakat Keo, salah satunya adalah “budaya rumah dan kampung” yang kemudian dihayati dalam tiga emas simpul sosial, yakni rumah (sa’o), kampung (nua) dan tanah (tana). Dari perspektif tradisional, konstelasi rumah-rumah (sa’o) membentuk kampung (nua oda) di atas kawasan tanah adat (tana watu), telah berperan mempererat ikatan jaringan sosial yang berpusat pada satu monumen budaya dan tempat ritual di tengah kampung yang dikenal dengan nama “Peo”. Satu aspek yang harus menjadi kekhasan kampung adalah persatuan yang tercermin dalam komunitas adat “rumah dan kampung”. Antara mereka sebetulnya masih terdapat hubungan darah (keluarga) yang sangat mengikat mereka dan malah membuat mereka merasa senasib dan sepenanggungan. Saling membantu di antara  mereka masih begitu mengental dan gotong royong menjadi jiwa yang nyaris tak pernah luntur, sampai-sampai menelurkan aneka filosofi dalam kearifan lokal seperti : kodo kita sa toko, tadi kita sa widha (mari kita setongkat dan setali),  ndi’i dudhu mera gheo (tinggal bersama), ine ha susus mite, ame ha dadu tolo (kita seibu dan dan sebapak).
            Pada titik di mana budaya rumah dan kampung hidup dalam pemaknaan anggotanya, budaya asing dalam hal ini agama masuk dan merasuki jiwa masyarakatnya. Sadar atau tidak sadar, pada kurun waktu ini masyarakat berada dalam masa kebimbangan lantaran menerima budaya baru  yang tentunya memiliki tuntutan yang berbeda dalam keyakinan yang juga tidak sama. Saya boleh mengatakan kalau ini mungkin menjadi pilihan yang rumit sampai saat ini. Akan muncul banyak sekali pilihan yang tentunya akan berujung pada keputusan keyakinan dan agama yang menjadi pemenangnya. Agama dan keyakinan tentunya menjadi prioritas sebab dalam keyakinan, manusia selalu takut akan nasib buruk setelah kematiannya. Sampai di sini persatuan dan kerukunan masyarakat sebagai sebuah komunitas budaya sedikit diguncang. Bagaimana tidak ? Anggota-anggotanya yang sudah lama bersatu seakan dikotakan. Yang paling menonjol dalam masyarakat budaya Keo adalah adanya kenyataan dua kelompok berbeda karena keyakinan, dalam satu kampung dan malahan satu rumah.

            Sebuah tuntutan baru yang musti dikembangkan adalah sikap toleransi. Toleransi yang menghendaki adanya penerimaan terhadap perbedaan sebagai kekayaan di mana di dalamnya diciptakan sikap saling menerima perbedaan, memahami keyakinan dan saling mengerti tuntutan keyakinan yang berbeda. Namun, gejala negatif yang mulai menguat adalah justru pemaknaan yang keliru tentang nilai toleransi hidup beragama itu sendiri. Toleransi tidak lagi dimaknai sebagai tenggang rasa atau sikap memahami dan memberi ruang tetapi mulai mengarah kepada menerima perbedaan sebagai dasar pengkotakan. Banyak orang yang jauh berdiri, akan melihat bahwa dalam satu rumah adat atau kampung adat, terdapat sebuah pemisahan yang jelas antara yang muslim dan yang katolik. Contoh yang paling jelas akan tampak pada pemisahan antara piring yang islam dan yang katolik, gelas islam dan katolik serta perlengkapan dapur islam dan katolik. Ada penerimaan bahwa begitulah cara mereka bertoleransi. Yang katolik tidak mau menodai kebersamaannya dengan yang Islam hanya karena mencampur-adukan perlengkapan makan dan masak walaupun mereka tahu kalau mereka selalu mencuci perlengkapan masak dan makan mereka dengan sangat bersih setiap kali mereka selesai menggunakannya untuk daging-daging yang haram menurut Islam. Demikian juga yang Islam,  dengan sendirinya akan berusaha menarik diri dari kelompok yang katolik jika berurusan dengan yang makan dan minum. Sekalipun mereka makan dari satu daging yang halal  menurut Islam, tetapi mereka tetap makan sendiri-sendiri karena memang mereka mempunyai perlengkapan makan dan masaknya yang khusus, walupun mereka tahu kalau saudara-saudaranya yang Katolik selalu mencuci perlengkapan masak dan makannya dengan bersih toh mereka berpikir bahwa itu pernah digunakan untuk sesuatu yang haram. Permasalahannya adalah budaya rumah dan kampung menghendaki persatuan komunitasnya dalam sebuah seruan adat : “ka papa fala, minu papa pinda” yang berarti “:makan bersama dalam satu piring serta minum dari gelas yang sama secara bergantian”. Sekalipun tidak harus diterjemahkan secara harfiah, namun makna kebersamaan agaknya berbenturan dengan hukum haram dan halal agama Islam. Bagaimana mungkin makan bersama dalam satu rumah, kalau fakta berbicara tentang piring islam dan katolik? Beginikah kita memaknai toleransi?
            Jawabannya adalah “tidak”. Kita adalah sebuah keluarga besar dan toleransi hidup beragama juga harus dipahami dalam konteks keluarga. Dalam toleransi keluarga, harusnya dihindari ketakutan-ketakutan atau perasaan was-was. Tidak boleh ada pikiran negatif dan keraguan. Dalam toleransi keluarga, tentunya tak ada yang dirugikan dan yang merugikan. Islam dan katolik adalah budaya baru yang lahir kemudian setelah kita lama hidup sebagai sebuah keluarga dalam keakraban yang mapan. Sebagai komunitas keluarga, sudah  pasti tak ada sikap saling mencurigakan, saling menjaga, menghormati, memahami dan bahkan saling melindungi. Sebab kita adalah satu dan agama mestinya dilihat sebagai warna indah dalam komunitas yang justru semakin membuat kita dekat dan bersatu. Sehingga dalam kesatuan itu kita bisa berteriak lantang : mai kita to’o jogho wangga sama (mari kita bangkit dan bersama membangun)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar