Internet Melahirkan Plagiator: Siapa yang Salah?



Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa perkembangan tehnologi dan ilmu pengetahuan telah banyak memberi perubahan bagi masyarakat dunia. Di samping subangan-sumbangan positif bagi manusia juga telah banyak menyeret manusia kepada dosa atau malah kepada kematian. Dunia seakan menjadi begitu sempit dan bahkan menjadi tidak terbatasi ruang  dan waktu akibat sistem informasi yang serba mudah dan cepat.  Teknologi telah masuk dan menembusi segala aspek kehidupan, bahkan pendidikan juga ikut di dalamnya.
Terlepas kepada konsep penddikan itu secara universal, saya merasa disentil untuk menulis tentang realitas trend mahasiswa pada dewasa ini. Entah disadari atau tidak, dewasa ini, perkembangan teknologi yang begitu pesat dengan membawa serta perkembangan sistem informasi yang mudah dan cepat, seperti internet  malah menyeret mahasisiswa kepada kecenderungan baru mencari informasi. Muncul kenyataan bahwa internet malah menjadi perpustakaan baru yang diyakini menyimpan aneka literatur, bahan bacaan sumber/ referensi. Alhasil, Perpustakaan kampus menjadi mati suri dan malah penuh debu karena tidak lagi dikunjungi.
Saya memang sepakat jika internet benar menjadi perpustakaan yang lengkap saat ini, alasannya bahwa terdapat banyak referensi ilmiah online dimuat di sana. Internet telah banyak memberikan sumbangan bagi dunia pendidikan terutama bagi proses pembentukan intelektual-akademis serta penambahan wawasan berpikir bagi mahasiswa itu sendiri. Ada banyak informasi yang bisa diperoleh serta ilmu yang dapat ditimba dalam konsep motivasi meningkatkan kemampuan diri. Namun, sangat disayangkan, terlepas ia menawarkan nilai positif, internet tanpa sadar telah menyeret mahasiswa kepada sebuah mental manja dan instan. Bagaimana tidak? Akibat informasi  yang serba lengkap, referensi yang padat serta tulisan-tulisan yang bisa dibilang sebagai “bahan  jadi”, mahasiswa seakan terpasung pada sebuah “mental enak” dan “terima bersih”. Dalam banyak kesempatan bisa saja mahasiswa tanpa takut menjadikan berbagai bentuk tulisan orang lain sebagai tulisan sendiri. Kasus seperti ini disebut sebagai  dosa intelektual, yakni copy paste/plagiat. Pada titik ini benturan sagat hebat terjadi antara mental yang perlahan terpola dengan tujuan pendidikan, yakni pembentukan manusia yang mandiri,berahlak  mulia, kreatif, cakap dan berilmu (bdk. Undang-Undang No. 20, Tahun 2003. Pasal 3). Konsep belajar sebagai sebuah usaha sadar mengembangkan diri secara positif, baik sisi kognitif, afektif maupun psikomotorik menjadi hanya sebagai sebuah bayang-bayang dan mimpi-mimpi. Kenyataan yang kasat mata adalah bahwa mahasiswa lemah untuk berpikir, tidak berpengetahuan dan mati kreatifitas dan lebih parah lagi bahwa secara tidak sadar mahasiswa telah belajar secara salah, terutama dalam hubungan dengan moralitas pendidikan/secara kusus moralitas intelektual.. Indikator atau parameter realitas degradasi kognisi mahasiswa ini dapat terukur lewat setiap tugas yang diberikan yang menuntut pertanggung-jawaban secara akademis atau malah sampai kepada tulisan skripsi dan makalah yang mengharuskan sebuah ujian dan tes, lebih sering jawabannya tidak tepat sasar atau malah gelengan kepala.
Dunia kampus kita saat ini agaknya sedang sakit. Mahasiswa seolah-olah hanya menyandang nama besar kaum intelektual. Kenyataan pengetahuan yang kosong lebih mendominasi atau malah mahasiswa kemudian hanya menyandang gelar sarjana kemudianya namun keluar tanpa membawa apa-apa. Ini adalah sebuah kenyataan yang memalukan dan menuntut untuk segera disikapi sebelum kita menemukan kenyataan sakit yang kronis dalam perpektif masa depan orang-orang muda kita yang menyandang predikat tulang bunggung bangsa dan agama. Kenyataan bahwa mahasiswa saat ini menjadi kelompok-kelompok mental instan dan yang mengalami degradasi moral intelektual sampai kepada sebagai orang yang hanya mampu mengimitasi, memang sebetulnya bukan sepenuhnya  menjadi pengaruh sepenuhnya teknologi dalam hal ini internet yang bersentuhan langsung namun seharusnya perlu dicari latar belakang munculnya kenyataan sampai sejauh ini.
Pertanyaan mengapa untuk kasus ini, kiranya dapat kita jawab pertama bahwa pendidikan adalah sebuah sistem yang memuat elemen-elemen pokok yang berperan aecara langsung bagi visi dan misi pendidkan itu sendiri. Dalam kaitan dengan kecenderungan memilihah internet sebagai sebuah perpustakaan baru, mungkin tepat jika pandangan kita diarahkan kepada perpustakaan kampus (elemen sarana yang mendesak) itu sendiri. Haruslah menjadi sebuah evaluasi penting bagi pihak kampus yang menjadi penanggungjawab sekaligus penggemban tugas ke manusiaan ini. sudah sejauh mana perpustakaan kampus menyediakan buku-buku, literatur-literatur atau sumber-sumber referensi yang menjawabi kebutuhan mahasiswa yang sedang memburu ilmu dan pengetahuan. Kemungkinan yang paling besar adalah bahwa perpustakaan kampus hanya berisi skripsi mahasiswa dari tahun ke tahun tanpa penambahan buku-buku ilmiah penting yang baru. Inilah kelemahan kampus sebagai sebuah lembaga akademis. Sangat ironis bahwa kampus yang seharusnya menjadi tempat/rumah menuntut ilmu  malah tidak melengkapi perpustakaan  yang berperan sangat penting sebagai “gudang ilmu”.
Latar belakang ini kemudian saya anggap menjadi solusi yang mendesak. Sudah saatnya perpustakaan kampus menyediakan pelayanan yang maksimal. Buku-buku dan referensi menjadi hal pokok yang membuat perpustakaan kampus tidak menjadi mati suri. Ketersediaan bahan bacaan memang sudah menjadi tanggung jawab dan prioritas perpustakaan agar petugas perpustakaan tidak kemudian menjadi penunggu yang  mudah jenuh dan ngantuk lantas tak ada pengunjung. Perpustakaan sebaiknya segera menyediakan literatur-literatur ilmiah sebagai referensi sehingga ia sekedar menjadi kamar skripsi dan tulisan mahasiswa.
Tidak cukup sampai di situ. Kita tidak berada pada sebuah tindakan preventif,  namun perjuangan menyembuhkan. Mahasiswa sudah banyak mengadopsi tulisan orang lain secara terang-terangan dan penuh. Menyembuhkan mental memang terasa sulit tetapi tidak salahnya kita mulai dari sekarang. Dosen sebagai elemen pendidik dan kampus sebagai sebuah wadah ilmu pengetahuan bertanggung-jawab secara besar bagi proses penyembuhan ini. kampus seharusnya memiliki ketegasan melalui otoritasnya untuk memberikan sangsi akademik bagi para plagiator. Kampus bisa saja merekomendasikan skorsing atau pemberhentian secara hormat bagi mahasiswa yang kedapatan melakukan copy paste atau plagiat, sebab kampus sebagai sebuah rumah ilmu pengetahuan harus merasa berdosa jika ia tidak sanggup mendidik manusia sesuai dengan tujuan pendidikan, apalagi sampai menelurkan plagiator-plagiator atau pencururi-pencuri intelekttual. Pada titik ini, jika kampus tidak sanggup menyatakan ketegasannya, maka kampus gagal melahirkan manusia-manusia yang cakap, pandai, berahklak mulia, mandiri dan kreatif.
Selain dari pada itu, terlepas kampus sebagai sebuah wadah, dosen yang menjadi ujung tombak pembetukan manusia ini sudah harus melengkapi kepalanya dengan aneka pengetahuan. Dosen harus memiliki kelebihan secara akademis. Mampu menginternalisasikan nilai-nilai dan norma-norma sambil terus melengkapi kemampuan intelektualnya dengan berbagai buku dan literatur sehingga  ia tidak saja memberi tugas lantas menjadikan tugas-tugas mahasiswa sebagai makanan kutu-kutu di lemari buku. Ia tahu secara persis dari mana tugas dan tulisan mahasiswa itu dibuat, mengikuti setiap perkembangan akademik mahasiswa yang dibimbingnya serta memotivasi mahasiswa untuk terus berusaha mandiri dan kreatif dengan menggali setiap potensi dalam dirinya sehingga dengan demikian mahasiswa dipacu untuk belajar dan  kreatif. Lebih jauh bahwa kemampuan berpikir mahasiswa semakin terus diasa dan diuji. Makin terus dilatih maka daya nalar mahasiswa menjadi semakin lebih tajam. Dosen yang padai adalah dosen yang bisa menilai, mengalisa dan mengkritisi mahasiswanya sehingga dosen tahu tentang mahasiswa dan segala kemampuan intelektualnya,  maka semakin mahasiswa mengetahui kekurangannya ia akan semakin merasa malu dan berjuang untuk meningkatkan kemampuan dirinya.