Rabu, 23 November 2011

saudara

      Sepasang manusia bermesra-mesraan di sebuah tikungan jalan. Tangan mereka saling berpegangan. Dada dan tubuh mereka begitu berdekatan, sedang wajah saling rapat lalu kedua mulut mereka tak satupun ingin kalah dalam pagutan-pagutan manja. Mereka sedang kasmaran dan rasanya mereka tak ingin menyudahi semuanya, walaupun malam makin larut, suasana sunyi mencekam dan hujan hampir tiba. Mereka tak mau semuanya lekas-lekas pergi sekalipun lonceng gereja berbunyi dua belas kali dan pintu rumah tidak mungkin dibuka lagi lagi.     Aku menemukan mereka ketika aku memacu motor “kongkorku pulang”. Mereka duduk di pinggiran jalan. Mereka tak menghiraukanku lewat. Mereka mengingatkanku kepada kisah sejoli yang jatuh cinta. Banyak  anggapan tentang mereka yang memang benar adanya. Tentang cinta itu buta, lantas sebuah keunggulan lebih diterima dan disyukuri.  Tentang cinta itu indah lantas kecantikan wajah menjadi keelokan untuk semuanya. Cinta pada batasan mereka adalah cinta yang tidak ingat diri dan penuh pengorbanan. Sang wanita akan berani menghabiskan uang membeli rokok buat sang pacar, sebab itu menyenangkan walaupun ia tahu kalau rokok tidak baik untuk kesehatan. Sang laki-laki juga akan rela menanggalkan jaket buat sang wanita di tengah malam yang dingin karena takut sang wanita kedinginan dan masuk angin walau dadanya sendiri “tipis” dan lebih besar peluang untuk jatuh sakit. Cinta mereka adalah cinta yang tidak menutup diri dan mencari keuntungan diri sendiri. Cinta mereka adalah cinta yang hanya ingin menyenangkan pasangan mereka masing-masing. Sehari tak bertemu rasanya seperti setahun, tidak “nelpon” membuat rasa kangen kian bertambah. SMS itu wajib dan menjadi warna tersendiri pada setiap jam-jam dan saat-saat sibuk mereka. Hidup mereka terasa lebih indah, menyenangkan, penuh daya dan tak ingin lekas disudahi.     Inilah cinta. cinta yang bagi saya diiterima sebagai cinta yang sesungguhnya. Cinta yang menyenangkan dan tidak membosankan. Di dalam masing-masing pribadi, ada keinginan agar pasangannya baik, aman, tertawa dan bahagia. Cinta yang seharusnya tak  mati. Cinta yang  penuh warna-warni. Mereka mencoba mengukir kisah dalam semua perjalanan hidup mereka lantas ingin semuanya terekam pada memori dan diary-diary tebal mereka.     Andai cinta yang ini ada dan tidak saja menjadi milik mereka yang sedang kasmaran, aku yakin kau dan aku bahagia selamanya. Mengapa tidak? Lama sekali kita terlahir sebagai saudara. Kita terlahir ibarat macan dan buaya. Kau memburu-buru keuntungan dan aku mengejar-ngejar rejeki, lalu kita berhenti pada benturan di mana kita sama-sama menginginkan lebih walau kita tahu bahwa kita seharusnya saling berbagi, sebab kita keluar dari rahim yang sama. Kita juga berlomba dan berpacu dalam kebaikan, lalu berhenti pada persimpangan, di mana kau dan aku menganggap diri lebih baik walaupun sebenarnya kebajikan tak mesti diperlombakan dan kebaikan tak pantas untuk dihitung-hitung, sebab kita sama-sama pernah ada dalam uterus sang ibu yang tak pernah meminta bayaran bagi teriakan rasa sakitnya bersalin.  Sekarang aku sadar, bahwa mengapa sampai dengan saat ini kita terus bertengkar dan tangan kita malah tak tenang saling melempar batu, sebab kita adalah manusia-manusia pribadi yang lahir sendiri-sendiri lantas memiliki naluri mempertahankan diri. Keberadaan kita sebagai saudara yang pernah dibuai ibu yang sama tak pernah lagi kita perhitungkan. Kau adalah kau yang memiliki hukum, kepentingan dan tuntutan yang lain dari aku yang juga memiliki semuanya itu.          Saat ini, kita benar-benar telah berbeda. Kita tinggal dalam gubuk kita masing-masing. Kita telah makan dan minum dari hasil keringat kita sendiri-sendiri. Piring, senduk dan gelas sudah kita punyai masing-masing. Kita saling menertawakan kekurangan masing-masing lantas membuat kita bersaing untuk lebih dan di sinilah kita saling tonjok-tonjokan. Pesan-pesan kebajikan sama-sama kita tempelkan di dinding-dinding gubuk kita. Tentang saling mencintai, saling mengampuni, saling menyayangi dan saling membantu, namun ketika berhadapan dengan kepentingan dan gengsi kita masing-masing, catatan kebajikan pada dinding rumah kita masing-masing  agaknya tidak berarti dan malah cuman sebagai tempelan kertas kosong pada dinding. Kita adalah manusia-manusia pembohong. Kita menulis seribu hukum pada kitab, namun kitalah yang melacurinya. Kita juga adalah penipu kelas wahit, berbicara lantang tentang cinta dan perdamaian, padahal kita sendiri yang melumuri kekeluargaan dengan darah permusuhan dan sanggamai kasih dengan kebencian.     Kau dan aku tentu ingat bagaimana kau menamparku dengan keras pada pipi dan aku membalasnya dengan menendang marah pungungmu, lantas kita saling bermusuhan hanya karena sebuah persoalan sederhana di mana kita sama-sama tidak saling melihat lantaran kau dan aku sengol-sengolan. Sungguh sebuah peristiwa yang sangat memalukan. Kau mengata-ngataiku dan menyebutku “bangsat”  dengan telunjuk menunjuk marah. Kau bilang aku omong kosong dengan cerita-ceritaku tentang kasih yang sabar dan membalas batu denngan kapas. Aku juga tak mau kalah. Kau kucemooh sebagai pembual sebab kau hari itu kau memukuliku padahal kau pernah mengatakan bahwa kau tidak bedanya dengan cinta dan sabar.     Banyak orang mengatakan bahwa kita seperti kucing dan anjing. kita terus berebutan daging dan tulang. Kita malah berperang terang-terangan dan melukai satu sama lain. Kita tak pernah mengalah dan berjuang untuk terus menjadi pemenang. Kita memang pribadi yang egois dan ingat diri. Masing-masing kita mau menang sendiri. Kita telah menjadi sendiri-sendiri walaupun pernah tidur mendengkur di rahim yang sama. Kita berbeda karena kita ingin tinggal sendiri-sendiri dan memualai pola perjuangan kita masing-masing dan berperang karena kita kita adalah orang yang berjuang untuk terus mempertahankan diri.      Saudara, saya hanya ingin mengatakan bahwa kita sebenarnya seibu dan seayah. Mengapa kita terus bertengkar. Mari kita mencoba merenungi diri. Untuk apa kita sebenarnya dilahirkan? Mengapa kita tidak dilahirkan sendirian? Kita hidup bukan untuk saling bermusuhan tetapi sebenarnya untuk saling berbagi dan memahami. Kita hidup bukan untuk meneropong perbedaan, tetapi mencari kesamaan. Perbedaan adalah kekayaan yang tidak mesti dipersoalkan. Persaman harus lebih ditonjolkan untuk  tujuan yang diperjuangkan bersama. Aku bermimpi lagi tentang dua sejoli yang sedang jatuh cinta. Hari ini, jika cinta mereka lahir lagi untuk kita. Aku sangat yakin, kita sungguh menjadi saudara dan orang melihat kita malah sebagai kembar dari ibu dan ayah yang sama. Kita saling bermesra-mesraan dan saling bergandengan tangan sambil membisikkan kata cinta: “saudara, kita sebetulnya seibu”.    SAUDARA Somerpes Frumentius        Sepasang manusia bermesra-mesraan di sebuah tikungan jalan. Tangan mereka saling berpegangan. Dada dan tubuh mereka begitu berdekatan, sedang wajah saling rapat lalu kedua mulut mereka tak satupun ingin kalah dalam pagutan-pagutan manja. Mereka sedang kasmaran dan rasanya mereka tak ingin menyudahi semuanya, walaupun malam makin larut, suasana sunyi mencekam dan hujan hampir tiba. Mereka tak mau semuanya lekas-lekas pergi sekalipun lonceng gereja berbunyi dua belas kali dan pintu rumah tidak mungkin dibuka lagi lagi.     Aku menemukan mereka ketika aku memacu motor “kongkorku pulang”. Mereka duduk di pinggiran jalan. Mereka tak menghiraukanku lewat. Mereka mengingatkanku kepada kisah sejoli yang jatuh cinta. Banyak  anggapan tentang mereka yang memang benar adanya. Tentang cinta itu buta, lantas sebuah keunggulan lebih diterima dan disyukuri.  Tentang cinta itu indah lantas kecantikan wajah menjadi keelokan untuk semuanya. Cinta pada batasan mereka adalah cinta yang tidak ingat diri dan penuh pengorbanan. Sang wanita akan berani menghabiskan uang membeli rokok buat sang pacar, sebab itu menyenangkan walaupun ia tahu kalau rokok tidak baik untuk kesehatan. Sang laki-laki juga akan rela menanggalkan jaket buat sang wanita di tengah malam yang dingin karena takut sang wanita kedinginan dan masuk angin walau dadanya sendiri “tipis” dan lebih besar peluang untuk jatuh sakit. Cinta mereka adalah cinta yang tidak menutup diri dan mencari keuntungan diri sendiri. Cinta mereka adalah cinta yang hanya ingin menyenangkan pasangan mereka masing-masing. Sehari tak bertemu rasanya seperti setahun, tidak “nelpon” membuat rasa kangen kian bertambah. SMS itu wajib dan menjadi warna tersendiri pada setiap jam-jam dan saat-saat sibuk mereka. Hidup mereka terasa lebih indah, menyenangkan, penuh daya dan tak ingin lekas disudahi.     Inilah cinta. cinta yang bagi saya diiterima sebagai cinta yang sesungguhnya. Cinta yang menyenangkan dan tidak membosankan. Di dalam masing-masing pribadi, ada keinginan agar pasangannya baik, aman, tertawa dan bahagia. Cinta yang seharusnya tak  mati. Cinta yang  penuh warna-warni. Mereka mencoba mengukir kisah dalam semua perjalanan hidup mereka lantas ingin semuanya terekam pada memori dan diary-diary tebal mereka.     Andai cinta yang ini ada dan tidak saja menjadi milik mereka yang sedang kasmaran, aku yakin kau dan aku bahagia selamanya. Mengapa tidak? Lama sekali kita terlahir sebagai saudara. Kita terlahir ibarat macan dan buaya. Kau memburu-buru keuntungan dan aku mengejar-ngejar rejeki, lalu kita berhenti pada benturan di mana kita sama-sama menginginkan lebih walau kita tahu bahwa kita seharusnya saling berbagi, sebab kita keluar dari rahim yang sama. Kita juga berlomba dan berpacu dalam kebaikan, lalu berhenti pada persimpangan, di mana kau dan aku menganggap diri lebih baik walaupun sebenarnya kebajikan tak mesti diperlombakan dan kebaikan tak pantas untuk dihitung-hitung, sebab kita sama-sama pernah ada dalam uterus sang ibu yang tak pernah meminta bayaran bagi teriakan rasa sakitnya bersalin.  Sekarang aku sadar, bahwa mengapa sampai dengan saat ini kita terus bertengkar dan tangan kita malah tak tenang saling melempar batu, sebab kita adalah manusia-manusia pribadi yang lahir sendiri-sendiri lantas memiliki naluri mempertahankan diri. Keberadaan kita sebagai saudara yang pernah dibuai ibu yang sama tak pernah lagi kita perhitungkan. Kau adalah kau yang memiliki hukum, kepentingan dan tuntutan yang lain dari aku yang juga memiliki semuanya itu.          Saat ini, kita benar-benar telah berbeda. Kita tinggal dalam gubuk kita masing-masing. Kita telah makan dan minum dari hasil keringat kita sendiri-sendiri. Piring, senduk dan gelas sudah kita punyai masing-masing. Kita saling menertawakan kekurangan masing-masing lantas membuat kita bersaing untuk lebih dan di sinilah kita saling tonjok-tonjokan. Pesan-pesan kebajikan sama-sama kita tempelkan di dinding-dinding gubuk kita. Tentang saling mencintai, saling mengampuni, saling menyayangi dan saling membantu, namun ketika berhadapan dengan kepentingan dan gengsi kita masing-masing, catatan kebajikan pada dinding rumah kita masing-masing  agaknya tidak berarti dan malah cuman sebagai tempelan kertas kosong pada dinding. Kita adalah manusia-manusia pembohong. Kita menulis seribu hukum pada kitab, namun kitalah yang melacurinya. Kita juga adalah penipu kelas wahit, berbicara lantang tentang cinta dan perdamaian, padahal kita sendiri yang melumuri kekeluargaan dengan darah permusuhan dan sanggamai kasih dengan kebencian.     Kau dan aku tentu ingat bagaimana kau menamparku dengan keras pada pipi dan aku membalasnya dengan menendang marah pungungmu, lantas kita saling bermusuhan hanya karena sebuah persoalan sederhana di mana kita sama-sama tidak saling melihat lantaran kau dan aku sengol-sengolan. Sungguh sebuah peristiwa yang sangat memalukan. Kau mengata-ngataiku dan menyebutku “bangsat”  dengan telunjuk menunjuk marah. Kau bilang aku omong kosong dengan cerita-ceritaku tentang kasih yang sabar dan membalas batu denngan kapas. Aku juga tak mau kalah. Kau kucemooh sebagai pembual sebab kau hari itu kau memukuliku padahal kau pernah mengatakan bahwa kau tidak bedanya dengan cinta dan sabar.     Banyak orang mengatakan bahwa kita seperti kucing dan anjing. kita terus berebutan daging dan tulang. Kita malah berperang terang-terangan dan melukai satu sama lain. Kita tak pernah mengalah dan berjuang untuk terus menjadi pemenang. Kita memang pribadi yang egois dan ingat diri. Masing-masing kita mau menang sendiri. Kita telah menjadi sendiri-sendiri walaupun pernah tidur mendengkur di rahim yang sama. Kita berbeda karena kita ingin tinggal sendiri-sendiri dan memualai pola perjuangan kita masing-masing dan berperang karena kita kita adalah orang yang berjuang untuk terus mempertahankan diri.      Saudara, saya hanya ingin mengatakan bahwa kita sebenarnya seibu dan seayah. Mengapa kita terus bertengkar. Mari kita mencoba merenungi diri. Untuk apa kita sebenarnya dilahirkan? Mengapa kita tidak dilahirkan sendirian? Kita hidup bukan untuk saling bermusuhan tetapi sebenarnya untuk saling berbagi dan memahami. Kita hidup bukan untuk meneropong perbedaan, tetapi mencari kesamaan. Perbedaan adalah kekayaan yang tidak mesti dipersoalkan. Persaman harus lebih ditonjolkan untuk  tujuan yang diperjuangkan bersama. Aku bermimpi lagi tentang dua sejoli yang sedang jatuh cinta. Hari ini, jika cinta mereka lahir lagi untuk kita. Aku sangat yakin, kita sungguh menjadi saudara dan orang melihat kita malah sebagai kembar dari ibu dan ayah yang sama. Kita saling bermesra-mesraan dan saling bergandengan tangan sambil membisikkan kata cinta: “saudara, kita sebetulnya seibu”.

OPINI


           
Komunitas Adat dan Toleransi Keluarga
Somerpes Frumentius


            Banyak pandangan sinis tentang kampung entah sebagai tempat yang kuno pun terisolasi, bahkan menjadi stereotip bahwa kampung adalah cerminan kebodohan dan wajah kemiskinan. Saya tidak bisa mempersalahkan mereka, sebab mungkin benar, tatapi saya lebih cenderung untuk mengatakan “tidak”. Pada kesederhanaan dan kemiskinan para penduduknya, sebetulnya terdapat kekayaan paling bernilai yakni keakraban komunitas kampungnya. Mereka saling memahami dalam ketulusan, saling menghargai dalam kerendahan hati, dan saling memberi dari kekurangan. Alasan sederhana bahwa mereka hampir hidup dari satu garis keturunan yang sama atau paling tidak mereka telah mengikat dirinya dalam sebuah komunitas keluarga besar. Hal ini dipertegas Tule dalam Rancang Bangun Nagekeo (2007:157). Menurutnya, faktor pemersatu masyarakat Nagekeo, khususnya masyarakat Keo, salah satunya adalah “budaya rumah dan kampung” yang kemudian dihayati dalam tiga emas simpul sosial, yakni rumah (sa’o), kampung (nua) dan tanah (tana). Dari perspektif tradisional, konstelasi rumah-rumah (sa’o) membentuk kampung (nua oda) di atas kawasan tanah adat (tana watu), telah berperan mempererat ikatan jaringan sosial yang berpusat pada satu monumen budaya dan tempat ritual di tengah kampung yang dikenal dengan nama “Peo”. Satu aspek yang harus menjadi kekhasan kampung adalah persatuan yang tercermin dalam komunitas adat “rumah dan kampung”. Antara mereka sebetulnya masih terdapat hubungan darah (keluarga) yang sangat mengikat mereka dan malah membuat mereka merasa senasib dan sepenanggungan. Saling membantu di antara  mereka masih begitu mengental dan gotong royong menjadi jiwa yang nyaris tak pernah luntur, sampai-sampai menelurkan aneka filosofi dalam kearifan lokal seperti : kodo kita sa toko, tadi kita sa widha (mari kita setongkat dan setali),  ndi’i dudhu mera gheo (tinggal bersama), ine ha susus mite, ame ha dadu tolo (kita seibu dan dan sebapak).
            Pada titik di mana budaya rumah dan kampung hidup dalam pemaknaan anggotanya, budaya asing dalam hal ini agama masuk dan merasuki jiwa masyarakatnya. Sadar atau tidak sadar, pada kurun waktu ini masyarakat berada dalam masa kebimbangan lantaran menerima budaya baru  yang tentunya memiliki tuntutan yang berbeda dalam keyakinan yang juga tidak sama. Saya boleh mengatakan kalau ini mungkin menjadi pilihan yang rumit sampai saat ini. Akan muncul banyak sekali pilihan yang tentunya akan berujung pada keputusan keyakinan dan agama yang menjadi pemenangnya. Agama dan keyakinan tentunya menjadi prioritas sebab dalam keyakinan, manusia selalu takut akan nasib buruk setelah kematiannya. Sampai di sini persatuan dan kerukunan masyarakat sebagai sebuah komunitas budaya sedikit diguncang. Bagaimana tidak ? Anggota-anggotanya yang sudah lama bersatu seakan dikotakan. Yang paling menonjol dalam masyarakat budaya Keo adalah adanya kenyataan dua kelompok berbeda karena keyakinan, dalam satu kampung dan malahan satu rumah.

            Sebuah tuntutan baru yang musti dikembangkan adalah sikap toleransi. Toleransi yang menghendaki adanya penerimaan terhadap perbedaan sebagai kekayaan di mana di dalamnya diciptakan sikap saling menerima perbedaan, memahami keyakinan dan saling mengerti tuntutan keyakinan yang berbeda. Namun, gejala negatif yang mulai menguat adalah justru pemaknaan yang keliru tentang nilai toleransi hidup beragama itu sendiri. Toleransi tidak lagi dimaknai sebagai tenggang rasa atau sikap memahami dan memberi ruang tetapi mulai mengarah kepada menerima perbedaan sebagai dasar pengkotakan. Banyak orang yang jauh berdiri, akan melihat bahwa dalam satu rumah adat atau kampung adat, terdapat sebuah pemisahan yang jelas antara yang muslim dan yang katolik. Contoh yang paling jelas akan tampak pada pemisahan antara piring yang islam dan yang katolik, gelas islam dan katolik serta perlengkapan dapur islam dan katolik. Ada penerimaan bahwa begitulah cara mereka bertoleransi. Yang katolik tidak mau menodai kebersamaannya dengan yang Islam hanya karena mencampur-adukan perlengkapan makan dan masak walaupun mereka tahu kalau mereka selalu mencuci perlengkapan masak dan makan mereka dengan sangat bersih setiap kali mereka selesai menggunakannya untuk daging-daging yang haram menurut Islam. Demikian juga yang Islam,  dengan sendirinya akan berusaha menarik diri dari kelompok yang katolik jika berurusan dengan yang makan dan minum. Sekalipun mereka makan dari satu daging yang halal  menurut Islam, tetapi mereka tetap makan sendiri-sendiri karena memang mereka mempunyai perlengkapan makan dan masaknya yang khusus, walupun mereka tahu kalau saudara-saudaranya yang Katolik selalu mencuci perlengkapan masak dan makannya dengan bersih toh mereka berpikir bahwa itu pernah digunakan untuk sesuatu yang haram. Permasalahannya adalah budaya rumah dan kampung menghendaki persatuan komunitasnya dalam sebuah seruan adat : “ka papa fala, minu papa pinda” yang berarti “:makan bersama dalam satu piring serta minum dari gelas yang sama secara bergantian”. Sekalipun tidak harus diterjemahkan secara harfiah, namun makna kebersamaan agaknya berbenturan dengan hukum haram dan halal agama Islam. Bagaimana mungkin makan bersama dalam satu rumah, kalau fakta berbicara tentang piring islam dan katolik? Beginikah kita memaknai toleransi?
            Jawabannya adalah “tidak”. Kita adalah sebuah keluarga besar dan toleransi hidup beragama juga harus dipahami dalam konteks keluarga. Dalam toleransi keluarga, harusnya dihindari ketakutan-ketakutan atau perasaan was-was. Tidak boleh ada pikiran negatif dan keraguan. Dalam toleransi keluarga, tentunya tak ada yang dirugikan dan yang merugikan. Islam dan katolik adalah budaya baru yang lahir kemudian setelah kita lama hidup sebagai sebuah keluarga dalam keakraban yang mapan. Sebagai komunitas keluarga, sudah  pasti tak ada sikap saling mencurigakan, saling menjaga, menghormati, memahami dan bahkan saling melindungi. Sebab kita adalah satu dan agama mestinya dilihat sebagai warna indah dalam komunitas yang justru semakin membuat kita dekat dan bersatu. Sehingga dalam kesatuan itu kita bisa berteriak lantang : mai kita to’o jogho wangga sama (mari kita bangkit dan bersama membangun)

Minggu, 19 Juni 2011

SAATNYA AKU BANGUN


Aku belum mau beranjak sedikit pun dari segi empat tempat tidurku. Mataku masih terasa dipaksa pejam oleh Sang Dewa yang memiliki mimpi alias dewa tidur. Semakin aku mencoba membalut tubuhku dengan sarung tipis pemberian nenek buyutku. Udara semangat begitu tak bersahabat ibarat tidur di atas genangan air, apalagi tempat tidur bambuku yang hanya dialasi sehelai tikar dari anyaman daun enau, makin membuatku gemetaran. Semalam aku hampir tak bisa tidur, cuaca musim panas membuatku tidur bagai mengukir sebuah tanda tanya. Aku tak pernah masuk ke dalam ketaksadaran, apalagi memeluk mimpi-mimpi  dan aku pikir inilah saatnya bagiku untuk membalaskan dendamnya.
Agaknya aku tidak pernah diberi kesempatan. Semalam aku tak bisa tidur karena kedinginan dan pagi ini, baru saja aku mencoba memejamkan mata, penjual kue sudah berteriak-teriak menjajakan onde goreng dan pore-rorenya. Tidak hanya itu saja, bunyi kendaraan kedengaran hiruk pikuk dan kian bising, suara tukang ojek yang memanggil-manggil penumpang, suara tempa besi dan skap kayu  dari bengkel besi dan  kayu, langkah-langkah kaki dengan sandal jepit yang menampar aspal dan masih banyak lagi bunyi-bunyian lain yang memaksaku untuk memberi keputusan melepaskan tidur dan mencoba bangun walau harus merayu kantuk dengan mengucak-ngucak mata dan meneguk kopi sisa semalam. 
Benar, aku memang masih ingin kembali meraih mimpi dalam tidurku yang terusik hawa jagad semalam. Aku masih ingin membalut tubuhku lebih lama dan membaui aroma pagi dalam mati sementara, namun semuanya sia-sia. Aku kehilangan segalanya. Kesempatan hilang semalam dan sekarang.... mau digantikan, malah dicolong maling-maling jahat lewat kebisingan dan kegaduhan.
Sekarang, mataku tak sengaja menatap ke dinding kamar. Seolah menukik dan mengikuti irama hentakan jarum detik dan kemudian aku tersadar bahwa memang benar waktu sudah lama berjalan jauh meninggalkanku. Sebuah kesadaran yang baru menghampiriku, menggauliku, dan kemudian berbisik tentang kenyataan bahwa aku sedang terpenjara. Ya...benar, aku memang sedang terpasung oleh sebuah mental yang lantas membuatku tetap berada di pinggir jalan sementara orang lain yang aku tonton, berjalan maju dan menjauhi aku.
Mengapa aku marah pada pedagang kue, tukang besi dan kayu, pejalan kaki dan tukang ojek padahal mereka sedang mengejar waktu dan memburu nasib dalam hidup yang masih harus terus diperjuangkan ?  Aku telah lama buta dan malah telah kehilangan beberapa fungsi  panca inderaku. Mataku tak dapat melihat, telingaku tak mampu mendengar dan hidung tak bisa membaui. Aku telah berkali-kali memaki kenyataan yang seharusnya menjadi cambuk.  Harusnya teriakan kesibukan adalah lonceng dan dan bunyi mesin kendaraan adalah panggilan karya. Mengapa aku malah tidur dan lebih tergiur untuk menggauli sarung dan meniduri bantal ?
Sekarang aku sadar, mengapa aku tetap menjadi aku yang sekarang sementara orang lain malah berlomba-lomba menggapai bendera di puncak pinang. Yang kusadari bahwa ketika oranng lain bekerja, aku memeluk bantal. Ketika orang lain membaca, aku malah bercengkerama. Dan ketika orang lain berlari mengejar kemapanan, aku malah menyelam dasar telaga mati dan statis yang malah menghancurkan aku. Aku telah lama diam lantas kehilangan waktu, namun sekalipun demikian, bangunku pagi ini rasanya tidak sia-sia. Mengapa tidak ?
Pagi yang mengecewakan serentak mejadi guru tentang arti kehidupan. Pagi ini adalah jendela  dan sekaligus gerbang untuk ku mencoba masuk. Aku disadarkan akan pentingnya waktu dalam hidup. Sedetikpun waktu itu sebetulnya adalah uang dan semenitpun saat itu sebetulnya adalah perubahan. Sekarang sudah saatnya aku tersipu, bangkit berdiri dan mengejar ketertinggalanku. Mencapai sukses memang tidak sekedar mengukir mimpi-mimpi. Meraih keberhasilan tidak Cuma berkayal dan berspekulasi. Tindakan adalah jalan menuju sukses. Sebab tanpa mencoba bertindak aku sudah pasti Cuma menjadi penonton lesu sambil gigit jari yang menyaksikan orang lain memeluk trofi dan mengenakan medali. Sekarang saatnya.....ya sekarang. Kalau bukan sekarang, kapan lagi ? tak apa kalau aku berakit dan berenang ke hulu demi kebahagiaan nanti dari pada aku berakit nanti dan senangpun tak mungkin datang pada uzurku dan rentaku di pinggir kuburan.ha.......ha.......ha.

BAHASA IBU DAN BAHASA SANG IBU


                Banyak orang salah kaprah dalam menggunakan konsep tentang bahasa ibu, malah saya boleh mengatakan bahwa di antara kalangan mahasiswa sendiri konsep tentang bahasa ibu sering dicampuradukan dengan konsep tentang bahasa sang ibu. Hemat saya, berbicara tentang bahasa ibu sebetulnya  mengandunng pengertian bahwa bahasa itu pertama-tama digunakan anak dalam komunikasi setiap hari entah itu di rumah maupun dalam lingkungan pergaulannya. Terlepas pada proses pemerolehan bahasa dan simpang siur pembelajaran bahasa dari orangtua sang anak, tetap hal itu tidak menjadi alasan bagi kita untuk mengatakan bahwa bahasa sang ibu adalah bahasa yang pertama diperoleh anak. Bagi saya pemerolehan bahasa tidak serta merta membuat anak menguasai bahasa. Setiap bahasa yang diajarkan kepada anak menjadi sangat kuat salah satunya, dipengaruhi juga oleh lingkungan di sekitar yang memaksa sang anak untuk menggunakan bahasa tersebut. Oleh karena itu bahasa ibu tidak harus sama disebut sebagai bahasa sang ibu. Bahasa ibu adalah bahasa pertama yang dikuasai anak dalam penggunaannya sehari-hari di dalam lingkungannya untuk menyampaikan pikiran, perasaan dan segala kebutuhannya. Berbeda dengan bahasa sang ibu, ia adalah bahasa yang sering digunakan ibu dalam komunikasi dengan anak tersebut, seperti meninabobokannya, memanjakannya, dan menyuapinya makan.
                Terhadap konsep yang sudah saya paparkan di atas, saya kemudian membuat sebuah kesimpulan bahwa bahasa ibu tidak otomatis adalah bahasa daerah. Dalam konteks Indonesia, yang memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa nasional, bahasa indonesia bisa saja menjadi bahasa ibu atau bahasa pertama (B1). Ada pernyataan yang juga salah tentang konsep bahasa pertama dan kedua. Mereka menyebut bahasa daerah sama dengan bahasa pertama dan bahasa indonesia adalah bahasa kedua. Hemat saya, ini tidak benar. Argumen yang saya bangun didasarkan pada pertanyaan bagaimana kalau seandainya anak yang dilahirkan dari orang tua yang berasal dari daerah yang berbeda lantas hidup di kota yang terdiri dari  orang-orang yang memiliki latar belakang daerah yang sangat heterogen? Kembali kepada konsep yang saya bangun, bahwa bahasa ibu adalah bahasa pertama yang digunakan anak dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan keluarga dan lingkungan bermainnya, maka sudah sangat pasti bahwa bahasa indonesia adalah bahasa pertama atau bahasa ibu sang anak. Alasan utama saya membuat argumem ini adalah bahwa dalam konteks masyarakat yang heterogen yang menyertakan keanekaan bahasa, bahasa persatuan sudah pasti dipakai dalam komunikasi sehari-hari. Terlepas dalam pemerolehan bahasa, sang anak mengenal bahasa sang ibu atau bahasa sang bapak, itu tidak sertamerta membuat ia menguasai bahasa itu sebab hakikat penguasaan bahasa, mengandaikan bahasa itu dipakai atau digunakan dalam komunikasi dan interaksi dan hakikat bahasa pertama adalah seberapa besar stimulus yang diberikan lingkungan terhadap anak dalam berkomunikasi. Jadi sekalipun ia mengenal bahasa sang ibu atau bahasa sang ayah, belum tentu ia menguasai keduanya sebab  ia akan lebih cenderung menggunakan bahasa yang selalu ia gunakan dalam berkomunikasi dengan teman-teman sebaya dan teman-teman bermainnya. Oleh karena itu sudah saatnya kita bisa membedakan mana sebenarnya yang disebut sebagai bahasa ibu (bahasa pertama) dan mana yang menjadi bahasa sang ibu serta mampu menegnal konsep yang sesungguhnya tentang bahasa pertama dan kedua sehingga kita tidak salah kaprah lantas serta merta  mengatakan bahwa bahasa daerah otomatis adalah bahasa ibu atau bahasa pertama.

Kamis, 16 Juni 2011

MENGENAL KATA DEPAN (PREPOSISI) DI

             

       A B S T R A K

Tidak dapat kita pungkiri bahwa sering kali terjadi kesalahan penulisan  yang kita temukan sehubungan dengan penggunaan kata depan (preposisi) di. Ada kecenderungan bahwa penggunaan kata depan di selalu disamakan dengan prefiks di-. Tulisan ini sebetulnya mau memberi gambaran secara lebih jelas dan tepat tentang perbedaan antara kata depan di dan prefiks di- selanjutnya memberi solusi tentang bagaimana seharusnya menulis kata depan di secara baik dan benar sehingga dengannya kita tidak mengulangi kesalahan yang sama dalam menulis kata depan di.

Kata Kunci     :    Preposisi di

I.     PENDAHULUAN
Dalam setiap tulisan,baik formal maupun non-formal, tanpa kita sadari sering kita jumpai ada begitu banyak kesalahan dalam penggunaan kata depan di. Kesalahan ini terjadi  ketika kata depan di yang seharusnya ditulis terpisah dari kata dasar (biasanya nomina=keterangan) justru penulisannya dilekatkan pada kata dasar  yang mengikutinya. Seperti “di rumah” (benar) ditulis dengan “dirumah” (salah). Hal ini disinyalir bahwa masih kurangnya pemahaman orang dalam membedakan fungsi/tugas kata depan sebagai kata/morfem yang berdiri sendiri  dari morfem di- sebagai imbuhan (prefiks).
Terhadap kesalahan yang seperti ini, sebaiknya kita perlu mengklarifikasi secara jelas tentang kata depan di itu sendiri, agar dampaknya tidak meluas atau malah kesalahannya diterima sebagai yang benar terutama bagi kita yang masih berada dalam dunia pendidikan formal.
II.    KATA DEPAN DI
1.         Pengertian Kata Depan
 Menurut Warsidi (2005:20) “Preposisi adalah kata yang berfungsi untuk mengintrodusir kata/frase benda, dan membentuk frase baru bernama frase preposisional. Umumnya, preposisi digunakan sebagai penanda waktu, lokasi, posisi, dan arah”. Sedangkan, menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, “kata depan atau preposisi adalah kata yang biasanya terdapat di depan nomina, msl, dari, dengan, di, dan ke” (Pusat Bahasa, 1990 : 700). Dari pengertian menurut Warsidi dan KBBI, dapat disimpulkan bahwa kata depan adalah kata yang membentuk frase preposisional di dalam kalimat yang penulisannya biasanya mendahului nomina (kata benda) sebagai penanda waktu, lokasi, posisi dan arah.
2.        Bagaimana Menggunakan Kata Depan (Preposisi) Di ?
A.  Menurut Edi Warsidi (2005:20)
v Preposisi, di ditulis terpisah dari keterangan tempat yang mengikutinya. Contoh : di rumah, di pasar, di jalan, di restoran, di Manado.
v Untuk keterangan tempat yang lebih spesifik, preposisi di mendapat tambahan kata yang sesuai dengan kekhususan tersebut, seperti atas, bawah, luar, dalam, muka. Dalam konteks ini, preposisi di tetap ditulis terpisah dari kata tambahan tersebut. Contoh: di atas meja, di bawah ranjang, di luar rumah, di dalam kamar, di muka toko.
v Preposisi di juga ditulis terpisah jika diikuti kata-kata seperti antara (di antara), samping (di samping), mana (di mana), sana (di sana).
v Jika menunjukan waktu (senja,masa), kata ganti orang (saya, kamu), kata benda abstrak (pertandingan, pertemuan), keterangan tempat yang didahului oleh angka (sebuah rumah, dua kamar), keterangan tempat yang tidak sebenarnya (wajahmu, dagu) kata depan di tidak boleh dipakai tetapi menggunakan kata depan pada
B.  Menurut KBBI
Kata depan di, ke, dari ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya, kecuali di dalam gabungan kata yang sudah dianggap sebagai satu kata, seperti kepada dan daripada(Pusat Bahasa, 1990 : 1028)
3.         Perbedaan Kata Depan Di Dengan Imbuhan (prefiks) Di-.
Prefiks, "di-" selalu diikuti oleh verba (kata kerja) dan ditulis serangkai dengan verba tersebut. Sebagai preposisi, "di" selalu diikuti oleh kata yang menerangkan tempat. Dalam hal ini, "di" ditulis terpisah dari keterangan tempat yang mengikutinya. Contoh prefiks: ditulis, dimakan, dan didorong. Contoh preposisi: di jalan, di kantor, dan di Bandung (Keraf, 1984 : 81).
III. PENUTUP  ( Kesimpulan dan Saran )
Kesalahan-kesalahan penggunaan kata depan di sering terjadi dalam setiap tulisan-tulisan kita baik disengaja maupun tidak disengaja. Hal ini terjadi, disamping karena kita belum sepenuhnya paham/mengerti  fungsi dan peran dari kata depan itu sendiri juga karena keterbatasan kemampuan kita dalam membedakan antara kata depan di dan prefiks di-
Dalam pada itu, kiranya tulisan ini bisa membantu kita sebagai awasan dalam setiap kali kita ingin menulis agar kita bisa membedakan kapan dan bagaimana kita harus menulis di sebagai kata depan dari di- sebagai imbuhan (afiks = prefiks).



DAFTAR PUSTAKA

Keraf, Gorys. 1984. Tata Bahasa Indonesia. Ende : Nusa Indah
Pusat Bahasa. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
Warsidi, Edi. 2005. “ Lebih Dekat Dengan Preposisi ‘di’ dan ‘pada’ “ dalam Matabaca Rabu, 05 September, 2005, hal. 20.

Permainan Ranjang Ariel dan Maya

Pesta bola sedang semarak di pertengahan musim piala dunia Afrika Selatan 2010. Ada serba-serbi warna dalam seribu penampilan dan aksi para bintang sepak bola. Bilang saja Ronaldo yang terkenal sebagai pemain paling berbakat lantas dihargai dengan nilai beli paling mahal. Ia adalah sosok bintang yang bercahaya sangat benderang. Perhatian banyak bola maniak tertuju padanya. Ada kerinduan untuk menyaksikan aksi dan gayanya. Berjuta mata ingin menyaksikan demonstrasi penuh tantangan namun mengasyikan. Ronaldo…………..gol……..! begitulah mungkin teriakan-teriakan para suporter memberi semangat bintangnya yang kian menggila dalam permainan lapangan bakatnya. Aksi-aksi individu yang penuh sensasi dari seorang Ronaldo yang nyaris sempurna. Tendangan-tendangan penuh hasrat. Goyangan yang kian mengecohkan serta tembakan yang selalu tepat ke mulut gawang. Pekikan tentunya kian membahana. Suporter penuh semangat. Di depan jantung pertahanan, keputusan tepat melesatkan tendangan ke sarang penjaga gawang. Melaju cepat dan benar-benar meruntuhkan pertahanan penjaga gawang. Sungguh permainan yang mengasyikan. Naluri gol Ronaldo  memuncak sampai ketika bola mejebolkan gawang dan bahkan merobekan jaring. Ronaldo memekik tertahan penuh kepuasan.  Penjaga gawang terkapar dalam kepasrahan pada rumput-rumput layu dan penonton pun larut dalam kenikmatan permainan. Sekali lagi, permainan yang mengasyikan , penuh daya estetis dalam setiap gerakan sehingga yang memancing perhatian, bukan sekedar bola sudah berada di dalam gawang namun setiap proses sampai membuahkan gol.
Seirama musim bola penuh keindahan oleh semarak penuh antusiasme dari para suporter di lapangan bakat, perhatian ribuan mata juga tak lepas dari kontoversi permainan Ariel dan Luna Maya. Mereka berada pada pojok tuduhan yang menyakitkan pada hal pada pojok itu pula, yakni pojok kamar di atas segi empat ranjang hasrat, mereka menampilkan indahnya sebuah permainan.  saya hanya mencoba memandang dari sebuah imajinasi tentang hingar-bingar gosip seputar Ariel dan Luna Maya. Permainan imbang dari Ariel dan luna yang tak pernah  dinilai oleh hitungan score namun lebih menampilkan keindahan sebuah aksi. Bukan ambisi dan   nafsu saling menaklukan tetapi dorongan untuk menciptakan kenikmatan melalui estetika aksi dalam permainan. bisa dibayangkan bahwa Luna bagai penjaga gawang menanti penuh kelembutan. Ariel mendekat dalam aksi dan gaya bagai Ronaldo mengutak-atik bola. Tak ada keinginaan untuk saling menjegal. Ini merupakan romantisme sebuah permainan. perlahan bibir indah Maya memagut manja saat serangan-serangan Ariel berada di depan gawang. Luna menggigit bibir saat bola mengetarkan gawang dari tendangan Ariel yang nyaris sempurna.  Pertahanan gawang pun runtuh dalam senyum terkulum ketika sebuah aksi individu Ariel yang menggila. Tempo permainan makin dipercepat. Pada jantung pertahanan Maya, dengan goyangan yang menyenangkan, hentakan sedikit ditahan menampakan kehati-hatian, tendangan dilesatkan tepat di mulut gawang. Luna menangkap penuh kemesrahan. Sekonyong tubuh Ariel mengejang dengan rubuh penuh kepuasan dan Luna maya jatuh terdtidur di atas rerumputan basah yang layu sambil mengerang bahagia.
Inilah arti sebuah permaian. Permainan yang penuh keindahan kalau dilihat dari perspektif estetis. Namun sangat disayangkan bahwa hampir sebagian suporter menganggap bahwa inilah aksi bintang yang sangat memalukan. Sebuah tontonan yang menjijikan, hina dan bahkan dosa. Mereka malah meneriakan tuduhan dan caci maki. Luna dan Ariel kini berada di sudut gelap. Hampir semua telunjuk menuding sambil mencemooh. Terlepas dari benar dan tidaknya, fakta dan rekayasanya, realita dan gosipnya, saya hanya coba mengajak kita untuk coba memandang semuanya dari perspektif yang lain. Misalnya dari perspektif seni. Seharusnya tidak ada bedanya antara Luna, Ariel dan Ronaldo. Mereka adalah sama-sama ‘bintang’ (titik perhatian). Mereka sama-sama menampilkan keindahan permainan. tak ada yang menjijikan dan dosa. Kalau Ronaldo mengggunakan kaki untuk menampilkan keindahan lantas kita berdecak kagum, Luna dan Ariel menggunakan perkelaminan untuk menunjukan kecantikan permainan seks dan romantisme. Saya hanya takut, sebagian suporter yang menuduh adalah suporter yang kesepian lantaran memendam keinginan untuk menjadi bagian dari permainan itu karena terbius aksi menakjubkan sampai mungkin bertanya dalam hatinya : “Mengapa Ariel/Luna dan bukan saya?”.
Memang pakaian sangat penting bagi yang memandang bokong adalah kotor, payu dara adalah dosa, kelangkang adalah neraka. Boleh jadi bahwa sebentar lagi seluruh badan dibalut selimut tebal karena takut kalau-kalau orang yang memandangnya merasa muak. Akhirnya saya sampai kepada kesimpulan :
1.    Berhentilah memandang seks sebagai sebuah kejahatan kalau memang dilakukan dengan kemauan dan penuh keindahan, badan adalah anugerah anggota-anggota tubuh adalah rahmat dan hadiah yang paling indah dari Sang Pencipta. Tuhan menciptakan dan memandang semua hasil ciptaannya baik adanya. Sebuah analogi bahwa kalau kaki tidak sekedar untuk berjalan tetapi juga untuk menendang bola dan sebagainya mengapa kelamin tak layak untuk tujuan keindahan, romantisme dan kepuasan/kebahagian?
2.    Ariel dan Maya seharusnya tidak berdosa. Ariel dan Maya menghargai pemberian dan anugerah Tuhan dengan memfungsikan anugerah itu. Dari anugerah Ariel dan Luna menunjukan tentang arti sebuiah romantisme dan keindahan. Bagi mereka naluri seks tak harus jadi mati oleh ketakutan. Naluri seks harus disyukuri dan disalurkan dengan keindahan permainan ranjang sejauh permainan itu adalah sebuah kesepakatan dalam menemukan kebahagian bersama sebab permainan seks yang dipaksakan adalah sebuah pemerkosaan dan jelas tidak memberi keindahan permainan.
3.    Ariel dan Maya tak harus disebut bersalah. Mereka tidak melanggar hukum karena memang mereka tak ingin dihukum. Kalau dituduh karena permainan seks, mengapa semua orang yang melakukannya tidak dihukum? Atau karena video porno, mengapa justru mereka yang dipersalahkan? Mereka tentu tak menginginkan privasinya menjadi tontonan. Harusnya siapa yang memulai menyebarkan video itulah yang ditangkap. Tetapi…………bagaimana pun kita mesti sudah lebih bijaksana. Pikiran kitalah yang harus diperbaiki. Usahakan menanggapi setiap hal secara positip. Luna dan Ariel tentunya tidak berniat mengajak kita untuk melakukan kejahatan seksual tetapi justru tanpa sengaja mengajak kita menikmati seks sebagai permainan yang mengasyikan, membahagiakan, menyenangkan dengan pasangan kita masing-masing dalam konteks saling mencintai

Rabu, 15 Juni 2011

Contoh Wacana Bahasa Indonesia

Karangan Narasi
Judul : Piknik yang Berkesan

Aku dan teman-temanku memulai perjalanan kami pada hari minggu ini dengan sangat suka cita. Rombongan kami semuanya berjumlah delapan orang sehingga tidak kesulitan  mencari kendaraan karena pada kami terdapat empat buah sepeda motor. Kami memulai perjalanan kami dari rumah teman kami di depan kampus I Universitas Flores kurang lebih pukul 07.00 pagi selepas misa pertama. Berdua-dua, kami meliwati jalan Sam Ratulangi lalu menyusuri jalan Wirajaya, terus masuk ke jalan Pahlawan lalu untuk sementara mengucapkan selamat tinggal kota Ende setelah sepeda Motor kami melaju pelan di jalan Umum Ndao.
Tujuan perjalanan kami hari ini adalah tempat wisata Nangalala. Kami tiba di sana kira-kira pukul 07.30 pagi dan kebetulan sekali setibanya di sana kami adalah orang yang pertama sehingga kami dapat memilih tempat yang lebih bagus untuk kami dirikan kemah darurat dan menyimpan semua perlengkapan kami. Sebuah rencana yang sangat matang telah kami susun. Acara rekreasinya kami kemas sedikit lebih lain dari biasanya.
Setelah kemah darurat kami buat, kami harus membuat sharing Emaus, yang berarti berdua-dua menceritakan keadaan batin kami masing-masing kepada teman yang boleh dipilih secara acak dari antara kami. Sharing Emaus ini  meniru kisah Kitab Kitab Suci tentang Dua Murid yang berjalan ke Emaus.  Selanjutnya sharing yang berjalan selama satu jam kami plenokan di kemah darurat kami. Masing-masing menceritakan apa yang sudah diceritakan oleh teman-temannya, menunjukan masalah-masalahnya dan selanjutnya kami pecahkan secara bersama-sama jika memang ada masalah yang belum terpecahkan dalam Sharing Emaus itu.
Setelah semua acara sharing dan bertukar pengelaman selesai maka selanjutnya adalah kami beramai-ramai menceburkan diri ke laut. Panas matahari rasanya terobati dengan merendam di dalam laut yang dangkal. Kami begitu merasa lepas dari beban masing-masing setelah sharing tadi sehingga saatnya sekarang kami bermain sepuas-puasnya.
Tanpa terasa matahari makin ke Barat. Jam telah menunjukan pukul 03.00 sore. Kami segera mengemas perlengkapan kami masing-masing. Saatnya kami harus pulang dan ketika matahari sudah benar-benar pergi ke peraduannya, kami sudah berada di kos kami masing-masing sambil membayangkan saat bahagia yang sudah dilewati.

Karangan Deskripsi
Judul  : Kamar Kos



Siang itu aku sedang duduk santai pada bangku kayu di dalam kamar kosku yang baru saja direhap sambil menghembuskan asap rokok Filter kesukaanku. Kamar kos yang seperti ini merupakan impianku sejak baru pertama kali aku menjadi mahasiswa pada Universitas Flores. Sekarang aku memandang puas pada hasil kerjaku. Aku bisa lebih betah sekarang berada di dalam kamar sambil belajar dan melahap buku-buku bacaan. Kos yang kelihatan lebih luas. Pada dinding kamar aku gantungkan foto-fotoku semasa SMA dulu. Kelihatan makin menarik apalagi setelah foto-foto itu aku tempatkan sesuai dengan ukurannya masing-masing, dari atas ke bawah mulai dari yang paling besar.
 Pandanganku kemudian tertuju pada rak buku di pojok kamar yang berisi buku-buku bacaan ilmiah yang ku beli dengan uang sisa pembayaran SKS-ku setiap semester pada Toko Buku Nusa Indah. Ku ambil satu buku yang disampulnya tertulis Berpikir dan Berjiwa Besar dari penerbit Binarupa Aksara. Setelah ku pandangi aku tersenyum dan mengembalikannya ke tempat semula. Aku memandang lagi secara keseluruhan kamar kosku, Sebuah tempat tidur tak berkasur, hanya beralaskan sehelai tikar plastik tetapi cukup nyaman. Atap yang terlampau dekat lantas aku batasi dengan kardus bekas yang aku minta dari kios-kios terdekat untuk dijadikan pelafon sederhana. Memang kelihatan sangat simpel namun menarik sebab plafon yang dari kardus sudah ditutupi dengan kertas putih sampai seluruh dindingnya.
Aku merasa begitu puas sekarang, apalagi saat kupandang lantai kamarku. Seperti lebih bersih dan licin. Di atasnya aku bentangkan karpet plastik yangn aku beli semeter seharga Rp. 12.000. Lantai kamar yang persis disusun dari keramik-keramik berwarna. Sebuah tape recorder tua merk Primo, aku letakkan di atas meja panjang dari tripleks di dekat pintu masuk sedangkan speakernya aku posisikan di bawah tempat tidurku. Agar kelihatan lebih menarik dan supaya terkesan bahwa aku juga selalu mendengarkan musik, maka pada dua buah speakerku itu ku tempelkan stiker bertuliskan “full musik’.
Aku telah mengakhiri semua tugasku dengan gemilang. Yang terakhir yang baru saja kuselesaikan adalah menempel sebuah tulisan pada daun pintu kamarku “welcome”


Karangan Argumentasi
Judul : Siap Berpacaran

Hasrat untuk berduaan dengan orang yang istimewa yang juga menganggap kita istimewa bisa kuat sekali bahkan disaat usia kita masih sangat muda. Sebenarnya berpacaran adalah kegiatan apapun antar teman yang di dalamnya minat romantisme kita terpusat pada satu orang dan minat orang itu terfokus pada kita. Entah melalui telepon atau bertemu langsung, entah terang-terangan atau diam-diam, jika kita dan teman lawan jenis kita saling memiliki perasaan romantis dan berkomunikasi secara rutin itu namanya berpacaran.
Dalam banyak kebudayaan, berpacaran dianggap sebagai sebuah cara untuk saling megenal, tetapi, berpacaran sebetulnya harus memiliki tujuan yang terhormat,  membantu seorang laki-laki dan perempuan menetukan apakan seorang ingin menjadi suami istri. Memang sebagian orang menganggap berpacaran itu tidak serius, tanpa berniat untuk menikah atau mungkin ada yang beranggapan bahwa berpacaran itu adalah sebuah tahap perkenalan di  mana belajar untuk memahami sifat masing – masing dan jika sulit untuk saling memahami maka bisa memutuskan untuk bubar. Hubungan yang semaacam itu memang tidak bertahan lama. Yang jelas bahwa jika kita ingin berpacaran dengan seseorang maka pastikan motivasi dan niat kita terhormat. Dalam berpacaran tidak ada yang disebut main-main sebab dalam berpacaran tentunya melibatkan perasaan. Apakah mungkin perasaan disamakan dengan mainan yang kalau suka dipungut dan kalau bosan dibuang ?
Melihat kemungkinan bahwa berpacaran tidak sekedar menjadi hanya sebagai mainan semata maka usia juga sangat menentukan layak atau tidak seseorang berpacaran. Usia yang matang akan mempengaruhi seseorang sanggup memilah mana yang baik dan tidak atau mana yang pantas dan tidak pantas. Biasanya orang akan sangat terdorong utuk berpacaran ketika berada pada usia-usia pubertas. Satu awasan bawa masa ini adalah masa yang sangat berbahaya di mana kita akan berada dalam periode yang bisa mengobarkan nafsu untuk  mengarah ke prilaku yang salah. Pacaran akan dilihat sebagai ketertarikan fisik, dorongan seksual tanpa ada motivasi untuk bisa saling menjaga dan memiliki untuk seterusnya berlanjut ke pernikahan. Pacaran yang semacam ini bisa saja membawa kepada kehancuran seperti putus sekolah, hamil di luar nikah, menjadi orang tua sebelum waktunya dan bapak dan mama tanpa tahu bagaimana harus mengurus anak-anaknya.

Karangan Eksposisi
Judul : Bagaimana Memperoleh Pekerjaan

Jika kamu benar-benar membutuhkan sesuatu yang harganya tidak terjangkau oleh orang tuamu, kamu bisa mencari pekerjaan guna memperoleh cukup uang untuk membelinya sendiri. Berikut ini terdapat empat saran yang membantumu memperoleh pekerjaan. Pertama, sebarkan berita. Beritahu kepada tetangga, teman ataupun dosen bahwa kamu membutuhkan pekerjaan. Kalau kamu malu untuk langsung meminta pekerjaan, kamu bisa menanyakan kepada mereka tentang pekerjaan mereka sewaktu mereka seusiamu. Semakin banyak orang tahu bahwa kamu mencari pekerjaan maka semakin banyak peluang untuk kemungkinan besar kamu dapatkan.
Kedua, tidak lanjuti setiap peluang. Tanggapi iklan lowongan pekerjaan yang dimuat di surat kabar/harian-harian,seperti Flores Pos dan Pos Kupang ataupun di radio, yang dipasang di depan toko dan tempat umum lainnya. Segera mencari tahu informasinya atau kalau tidak berhasil,  bisa meyakinkan orang yang mempunyai usaha bahwa ia memebutuhkan jasa yang bisa anda berikan.
Ketiga, tuliskan dan sebarkan lamaran serta daftar riwayat hidup. Tulis surat lamaran yang dilampiri data diri, alamat, nomor telepon, serta daftar keterampilan dan pengelaman kerjamu. Bagaimana kalau kamu merasa tidak memiliki keterampilan atau pengelaman kerja ? coba diingat-ingat bahwa anda mungkin pernah mengasuh adikmu ketika orang tuamu pergi atau pernah diminta untuk menjaga orang-orang lain. Hal itu menunjukan bahwa anda bisa dipercaya. Cantumkan semuanya itu dalam daftar riwayat hidupmu dan berikan daftar itu kepada calon atasanmu.
Keempat, ciptakan pekerjaan sendiri. Pertama-tama yang harus dipikirkan adalah lingkungan tempat tinggalmu. Adakah barang atau jasa yang belum ada penyediaannya ? misalnya, kalau kamu suka  binatang, kamu bisa menawarkan diri untuk memandikan atau mencukur bulu hewan kesayangan tetanggamu dengan  tarif tertentu. Atau jika kamu bisa  memainkan alat musik, bagaimana kalau kamu memberikan les musik ? atau kamu bisa melakukan pekerjaan yang biasanya orang lain tidak melakukannya, seperti membersihkan jendela, atau rumah. Tentu saja yang paling penting dari semuanya itu adalah bahwa  kamu harus mempunyai motivasi diri, disiplin dan mau berinisiatif.


Karangan Persuasi
Judul : Sari Jahe Taka Tunga

 Pernahkah anda mencoba minum sari jahe Taka Tunga ? sungguh sangat disayangkan jika anda melalui hidup anda tanpa sedikitpun mencoba minuman tradisional berkashiat ini. Minuman ini adalah minuman berkasyat tinggi. Diproduksi secara natural dari bahan alamiah, yaitu jahe-jahe pilihan dari kampung Taka Kecamatan Golewa Kabupaten Ngada dan dikemas menjadi sebuah produk yang sangat bermutu.
Entah anda mau yakin atau tidak, tetapi  saya hanya mau mengatakan bahwa akan sangat disayangkan jika anda tidak pernah mau mencobanya. Saya sendiri pernah mencobanya dan rasanya tidak seperti meminum sari-sari jahe biasa.  Ketika itu saya sedang masuk angin akibat kehujanan saat mengendarai motor dari Mauponggo ke Bajawa. Saya singgah sebentar di kampung Taka untuk membeli sebungkus sari jahe. Saya meminta segelas air hangat kepada seorang ibu di kampung itu lalu melarutkaan sari jahe ke dalam gelas air dan langsung diminum. Alhasil, perut saya menjadi lebih baik dan masuk angin langsung hilang.
Di samping kashiatnya untuk menyebuhkan masuk angin, juga sari jahe Taka Tunga juga dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit, seperti mag, lambung, sesak napas, brongkitis, asma, sariawan, radang paru-paru, sakit kepala dan juga batuk  tidak berdahak. Kenyataan ini sudah dibuktikan oleh sebagaian orang yang sudah mengkonsumsi minuman ini dan menjadi sembuh dari penyakitnya akibat meminum minuman ini.
Sebagai sebuah minuman yanng diproduksi secara alamiah oleh tangan-tangan trampil masyarakat Taka Tunga, anda tidak perlu harus berpikir tentang efek samping dari minuman ini. Minuman ini dikemas tanpa ada polusi kimiawi ataupun tanpa adanya bahan pengawet. Minuman ini sudah menjadi pilihan banyak orang karena disamping sebagai obat juga dapat digunakan sebagai minuman pengganti kopi pada pagi hari taupun sore hari. Sudah sejak tahun 2002 sari jahe Taka Tunga sudah Go Internastional dan dan laris dikonsumsi di Cina, Kanada, Amerika Serikat dan Bangkok.
Kalau anda sempat lewat, anda bisa membeli minuman ini di kios-kios yang ada di kampung Taka Tunga atau mungkin ada yang berminat, anda dapat menghubung langsung ke Nomor Telepon : 085253237046. Silahkan mencoba dan anda akan langsung merasakan sendiri kashiatnya.