Sepasang manusia bermesra-mesraan di sebuah tikungan jalan. Tangan mereka saling berpegangan. Dada dan tubuh mereka begitu berdekatan, sedang wajah saling rapat lalu kedua mulut mereka tak satupun ingin kalah dalam pagutan-pagutan manja. Mereka sedang kasmaran dan rasanya mereka tak ingin menyudahi semuanya, walaupun malam makin larut, suasana sunyi mencekam dan hujan hampir tiba. Mereka tak mau semuanya lekas-lekas pergi sekalipun lonceng gereja berbunyi dua belas kali dan pintu rumah tidak mungkin dibuka lagi lagi. Aku menemukan mereka ketika aku memacu motor “kongkorku pulang”. Mereka duduk di pinggiran jalan. Mereka tak menghiraukanku lewat. Mereka mengingatkanku kepada kisah sejoli yang jatuh cinta. Banyak anggapan tentang mereka yang memang benar adanya. Tentang cinta itu buta, lantas sebuah keunggulan lebih diterima dan disyukuri. Tentang cinta itu indah lantas kecantikan wajah menjadi keelokan untuk semuanya. Cinta pada batasan mereka adalah cinta yang tidak ingat diri dan penuh pengorbanan. Sang wanita akan berani menghabiskan uang membeli rokok buat sang pacar, sebab itu menyenangkan walaupun ia tahu kalau rokok tidak baik untuk kesehatan. Sang laki-laki juga akan rela menanggalkan jaket buat sang wanita di tengah malam yang dingin karena takut sang wanita kedinginan dan masuk angin walau dadanya sendiri “tipis” dan lebih besar peluang untuk jatuh sakit. Cinta mereka adalah cinta yang tidak menutup diri dan mencari keuntungan diri sendiri. Cinta mereka adalah cinta yang hanya ingin menyenangkan pasangan mereka masing-masing. Sehari tak bertemu rasanya seperti setahun, tidak “nelpon” membuat rasa kangen kian bertambah. SMS itu wajib dan menjadi warna tersendiri pada setiap jam-jam dan saat-saat sibuk mereka. Hidup mereka terasa lebih indah, menyenangkan, penuh daya dan tak ingin lekas disudahi. Inilah cinta. cinta yang bagi saya diiterima sebagai cinta yang sesungguhnya. Cinta yang menyenangkan dan tidak membosankan. Di dalam masing-masing pribadi, ada keinginan agar pasangannya baik, aman, tertawa dan bahagia. Cinta yang seharusnya tak mati. Cinta yang penuh warna-warni. Mereka mencoba mengukir kisah dalam semua perjalanan hidup mereka lantas ingin semuanya terekam pada memori dan diary-diary tebal mereka. Andai cinta yang ini ada dan tidak saja menjadi milik mereka yang sedang kasmaran, aku yakin kau dan aku bahagia selamanya. Mengapa tidak? Lama sekali kita terlahir sebagai saudara. Kita terlahir ibarat macan dan buaya. Kau memburu-buru keuntungan dan aku mengejar-ngejar rejeki, lalu kita berhenti pada benturan di mana kita sama-sama menginginkan lebih walau kita tahu bahwa kita seharusnya saling berbagi, sebab kita keluar dari rahim yang sama. Kita juga berlomba dan berpacu dalam kebaikan, lalu berhenti pada persimpangan, di mana kau dan aku menganggap diri lebih baik walaupun sebenarnya kebajikan tak mesti diperlombakan dan kebaikan tak pantas untuk dihitung-hitung, sebab kita sama-sama pernah ada dalam uterus sang ibu yang tak pernah meminta bayaran bagi teriakan rasa sakitnya bersalin. Sekarang aku sadar, bahwa mengapa sampai dengan saat ini kita terus bertengkar dan tangan kita malah tak tenang saling melempar batu, sebab kita adalah manusia-manusia pribadi yang lahir sendiri-sendiri lantas memiliki naluri mempertahankan diri. Keberadaan kita sebagai saudara yang pernah dibuai ibu yang sama tak pernah lagi kita perhitungkan. Kau adalah kau yang memiliki hukum, kepentingan dan tuntutan yang lain dari aku yang juga memiliki semuanya itu. Saat ini, kita benar-benar telah berbeda. Kita tinggal dalam gubuk kita masing-masing. Kita telah makan dan minum dari hasil keringat kita sendiri-sendiri. Piring, senduk dan gelas sudah kita punyai masing-masing. Kita saling menertawakan kekurangan masing-masing lantas membuat kita bersaing untuk lebih dan di sinilah kita saling tonjok-tonjokan. Pesan-pesan kebajikan sama-sama kita tempelkan di dinding-dinding gubuk kita. Tentang saling mencintai, saling mengampuni, saling menyayangi dan saling membantu, namun ketika berhadapan dengan kepentingan dan gengsi kita masing-masing, catatan kebajikan pada dinding rumah kita masing-masing agaknya tidak berarti dan malah cuman sebagai tempelan kertas kosong pada dinding. Kita adalah manusia-manusia pembohong. Kita menulis seribu hukum pada kitab, namun kitalah yang melacurinya. Kita juga adalah penipu kelas wahit, berbicara lantang tentang cinta dan perdamaian, padahal kita sendiri yang melumuri kekeluargaan dengan darah permusuhan dan sanggamai kasih dengan kebencian. Kau dan aku tentu ingat bagaimana kau menamparku dengan keras pada pipi dan aku membalasnya dengan menendang marah pungungmu, lantas kita saling bermusuhan hanya karena sebuah persoalan sederhana di mana kita sama-sama tidak saling melihat lantaran kau dan aku sengol-sengolan. Sungguh sebuah peristiwa yang sangat memalukan. Kau mengata-ngataiku dan menyebutku “bangsat” dengan telunjuk menunjuk marah. Kau bilang aku omong kosong dengan cerita-ceritaku tentang kasih yang sabar dan membalas batu denngan kapas. Aku juga tak mau kalah. Kau kucemooh sebagai pembual sebab kau hari itu kau memukuliku padahal kau pernah mengatakan bahwa kau tidak bedanya dengan cinta dan sabar. Banyak orang mengatakan bahwa kita seperti kucing dan anjing. kita terus berebutan daging dan tulang. Kita malah berperang terang-terangan dan melukai satu sama lain. Kita tak pernah mengalah dan berjuang untuk terus menjadi pemenang. Kita memang pribadi yang egois dan ingat diri. Masing-masing kita mau menang sendiri. Kita telah menjadi sendiri-sendiri walaupun pernah tidur mendengkur di rahim yang sama. Kita berbeda karena kita ingin tinggal sendiri-sendiri dan memualai pola perjuangan kita masing-masing dan berperang karena kita kita adalah orang yang berjuang untuk terus mempertahankan diri. Saudara, saya hanya ingin mengatakan bahwa kita sebenarnya seibu dan seayah. Mengapa kita terus bertengkar. Mari kita mencoba merenungi diri. Untuk apa kita sebenarnya dilahirkan? Mengapa kita tidak dilahirkan sendirian? Kita hidup bukan untuk saling bermusuhan tetapi sebenarnya untuk saling berbagi dan memahami. Kita hidup bukan untuk meneropong perbedaan, tetapi mencari kesamaan. Perbedaan adalah kekayaan yang tidak mesti dipersoalkan. Persaman harus lebih ditonjolkan untuk tujuan yang diperjuangkan bersama. Aku bermimpi lagi tentang dua sejoli yang sedang jatuh cinta. Hari ini, jika cinta mereka lahir lagi untuk kita. Aku sangat yakin, kita sungguh menjadi saudara dan orang melihat kita malah sebagai kembar dari ibu dan ayah yang sama. Kita saling bermesra-mesraan dan saling bergandengan tangan sambil membisikkan kata cinta: “saudara, kita sebetulnya seibu”. SAUDARA Somerpes Frumentius Sepasang manusia bermesra-mesraan di sebuah tikungan jalan. Tangan mereka saling berpegangan. Dada dan tubuh mereka begitu berdekatan, sedang wajah saling rapat lalu kedua mulut mereka tak satupun ingin kalah dalam pagutan-pagutan manja. Mereka sedang kasmaran dan rasanya mereka tak ingin menyudahi semuanya, walaupun malam makin larut, suasana sunyi mencekam dan hujan hampir tiba. Mereka tak mau semuanya lekas-lekas pergi sekalipun lonceng gereja berbunyi dua belas kali dan pintu rumah tidak mungkin dibuka lagi lagi. Aku menemukan mereka ketika aku memacu motor “kongkorku pulang”. Mereka duduk di pinggiran jalan. Mereka tak menghiraukanku lewat. Mereka mengingatkanku kepada kisah sejoli yang jatuh cinta. Banyak anggapan tentang mereka yang memang benar adanya. Tentang cinta itu buta, lantas sebuah keunggulan lebih diterima dan disyukuri. Tentang cinta itu indah lantas kecantikan wajah menjadi keelokan untuk semuanya. Cinta pada batasan mereka adalah cinta yang tidak ingat diri dan penuh pengorbanan. Sang wanita akan berani menghabiskan uang membeli rokok buat sang pacar, sebab itu menyenangkan walaupun ia tahu kalau rokok tidak baik untuk kesehatan. Sang laki-laki juga akan rela menanggalkan jaket buat sang wanita di tengah malam yang dingin karena takut sang wanita kedinginan dan masuk angin walau dadanya sendiri “tipis” dan lebih besar peluang untuk jatuh sakit. Cinta mereka adalah cinta yang tidak menutup diri dan mencari keuntungan diri sendiri. Cinta mereka adalah cinta yang hanya ingin menyenangkan pasangan mereka masing-masing. Sehari tak bertemu rasanya seperti setahun, tidak “nelpon” membuat rasa kangen kian bertambah. SMS itu wajib dan menjadi warna tersendiri pada setiap jam-jam dan saat-saat sibuk mereka. Hidup mereka terasa lebih indah, menyenangkan, penuh daya dan tak ingin lekas disudahi. Inilah cinta. cinta yang bagi saya diiterima sebagai cinta yang sesungguhnya. Cinta yang menyenangkan dan tidak membosankan. Di dalam masing-masing pribadi, ada keinginan agar pasangannya baik, aman, tertawa dan bahagia. Cinta yang seharusnya tak mati. Cinta yang penuh warna-warni. Mereka mencoba mengukir kisah dalam semua perjalanan hidup mereka lantas ingin semuanya terekam pada memori dan diary-diary tebal mereka. Andai cinta yang ini ada dan tidak saja menjadi milik mereka yang sedang kasmaran, aku yakin kau dan aku bahagia selamanya. Mengapa tidak? Lama sekali kita terlahir sebagai saudara. Kita terlahir ibarat macan dan buaya. Kau memburu-buru keuntungan dan aku mengejar-ngejar rejeki, lalu kita berhenti pada benturan di mana kita sama-sama menginginkan lebih walau kita tahu bahwa kita seharusnya saling berbagi, sebab kita keluar dari rahim yang sama. Kita juga berlomba dan berpacu dalam kebaikan, lalu berhenti pada persimpangan, di mana kau dan aku menganggap diri lebih baik walaupun sebenarnya kebajikan tak mesti diperlombakan dan kebaikan tak pantas untuk dihitung-hitung, sebab kita sama-sama pernah ada dalam uterus sang ibu yang tak pernah meminta bayaran bagi teriakan rasa sakitnya bersalin. Sekarang aku sadar, bahwa mengapa sampai dengan saat ini kita terus bertengkar dan tangan kita malah tak tenang saling melempar batu, sebab kita adalah manusia-manusia pribadi yang lahir sendiri-sendiri lantas memiliki naluri mempertahankan diri. Keberadaan kita sebagai saudara yang pernah dibuai ibu yang sama tak pernah lagi kita perhitungkan. Kau adalah kau yang memiliki hukum, kepentingan dan tuntutan yang lain dari aku yang juga memiliki semuanya itu. Saat ini, kita benar-benar telah berbeda. Kita tinggal dalam gubuk kita masing-masing. Kita telah makan dan minum dari hasil keringat kita sendiri-sendiri. Piring, senduk dan gelas sudah kita punyai masing-masing. Kita saling menertawakan kekurangan masing-masing lantas membuat kita bersaing untuk lebih dan di sinilah kita saling tonjok-tonjokan. Pesan-pesan kebajikan sama-sama kita tempelkan di dinding-dinding gubuk kita. Tentang saling mencintai, saling mengampuni, saling menyayangi dan saling membantu, namun ketika berhadapan dengan kepentingan dan gengsi kita masing-masing, catatan kebajikan pada dinding rumah kita masing-masing agaknya tidak berarti dan malah cuman sebagai tempelan kertas kosong pada dinding. Kita adalah manusia-manusia pembohong. Kita menulis seribu hukum pada kitab, namun kitalah yang melacurinya. Kita juga adalah penipu kelas wahit, berbicara lantang tentang cinta dan perdamaian, padahal kita sendiri yang melumuri kekeluargaan dengan darah permusuhan dan sanggamai kasih dengan kebencian. Kau dan aku tentu ingat bagaimana kau menamparku dengan keras pada pipi dan aku membalasnya dengan menendang marah pungungmu, lantas kita saling bermusuhan hanya karena sebuah persoalan sederhana di mana kita sama-sama tidak saling melihat lantaran kau dan aku sengol-sengolan. Sungguh sebuah peristiwa yang sangat memalukan. Kau mengata-ngataiku dan menyebutku “bangsat” dengan telunjuk menunjuk marah. Kau bilang aku omong kosong dengan cerita-ceritaku tentang kasih yang sabar dan membalas batu denngan kapas. Aku juga tak mau kalah. Kau kucemooh sebagai pembual sebab kau hari itu kau memukuliku padahal kau pernah mengatakan bahwa kau tidak bedanya dengan cinta dan sabar. Banyak orang mengatakan bahwa kita seperti kucing dan anjing. kita terus berebutan daging dan tulang. Kita malah berperang terang-terangan dan melukai satu sama lain. Kita tak pernah mengalah dan berjuang untuk terus menjadi pemenang. Kita memang pribadi yang egois dan ingat diri. Masing-masing kita mau menang sendiri. Kita telah menjadi sendiri-sendiri walaupun pernah tidur mendengkur di rahim yang sama. Kita berbeda karena kita ingin tinggal sendiri-sendiri dan memualai pola perjuangan kita masing-masing dan berperang karena kita kita adalah orang yang berjuang untuk terus mempertahankan diri. Saudara, saya hanya ingin mengatakan bahwa kita sebenarnya seibu dan seayah. Mengapa kita terus bertengkar. Mari kita mencoba merenungi diri. Untuk apa kita sebenarnya dilahirkan? Mengapa kita tidak dilahirkan sendirian? Kita hidup bukan untuk saling bermusuhan tetapi sebenarnya untuk saling berbagi dan memahami. Kita hidup bukan untuk meneropong perbedaan, tetapi mencari kesamaan. Perbedaan adalah kekayaan yang tidak mesti dipersoalkan. Persaman harus lebih ditonjolkan untuk tujuan yang diperjuangkan bersama. Aku bermimpi lagi tentang dua sejoli yang sedang jatuh cinta. Hari ini, jika cinta mereka lahir lagi untuk kita. Aku sangat yakin, kita sungguh menjadi saudara dan orang melihat kita malah sebagai kembar dari ibu dan ayah yang sama. Kita saling bermesra-mesraan dan saling bergandengan tangan sambil membisikkan kata cinta: “saudara, kita sebetulnya seibu”.
Rabu, 23 November 2011
OPINI
Komunitas Adat dan Toleransi Keluarga
Somerpes Frumentius
Banyak pandangan sinis tentang kampung entah sebagai tempat yang kuno pun terisolasi, bahkan menjadi stereotip bahwa kampung adalah cerminan kebodohan dan wajah kemiskinan. Saya tidak bisa mempersalahkan mereka, sebab mungkin benar, tatapi saya lebih cenderung untuk mengatakan “tidak”. Pada kesederhanaan dan kemiskinan para penduduknya, sebetulnya terdapat kekayaan paling bernilai yakni keakraban komunitas kampungnya. Mereka saling memahami dalam ketulusan, saling menghargai dalam kerendahan hati, dan saling memberi dari kekurangan. Alasan sederhana bahwa mereka hampir hidup dari satu garis keturunan yang sama atau paling tidak mereka telah mengikat dirinya dalam sebuah komunitas keluarga besar. Hal ini dipertegas Tule dalam Rancang Bangun Nagekeo (2007:157). Menurutnya, faktor pemersatu masyarakat Nagekeo, khususnya masyarakat Keo, salah satunya adalah “budaya rumah dan kampung” yang kemudian dihayati dalam tiga emas simpul sosial, yakni rumah (sa’o), kampung (nua) dan tanah (tana). Dari perspektif tradisional, konstelasi rumah-rumah (sa’o) membentuk kampung (nua oda) di atas kawasan tanah adat (tana watu), telah berperan mempererat ikatan jaringan sosial yang berpusat pada satu monumen budaya dan tempat ritual di tengah kampung yang dikenal dengan nama “Peo”. Satu aspek yang harus menjadi kekhasan kampung adalah persatuan yang tercermin dalam komunitas adat “rumah dan kampung”. Antara mereka sebetulnya masih terdapat hubungan darah (keluarga) yang sangat mengikat mereka dan malah membuat mereka merasa senasib dan sepenanggungan. Saling membantu di antara mereka masih begitu mengental dan gotong royong menjadi jiwa yang nyaris tak pernah luntur, sampai-sampai menelurkan aneka filosofi dalam kearifan lokal seperti : kodo kita sa toko, tadi kita sa widha (mari kita setongkat dan setali), ndi’i dudhu mera gheo (tinggal bersama), ine ha susus mite, ame ha dadu tolo (kita seibu dan dan sebapak).
Pada titik di mana budaya rumah dan kampung hidup dalam pemaknaan anggotanya, budaya asing dalam hal ini agama masuk dan merasuki jiwa masyarakatnya. Sadar atau tidak sadar, pada kurun waktu ini masyarakat berada dalam masa kebimbangan lantaran menerima budaya baru yang tentunya memiliki tuntutan yang berbeda dalam keyakinan yang juga tidak sama. Saya boleh mengatakan kalau ini mungkin menjadi pilihan yang rumit sampai saat ini. Akan muncul banyak sekali pilihan yang tentunya akan berujung pada keputusan keyakinan dan agama yang menjadi pemenangnya. Agama dan keyakinan tentunya menjadi prioritas sebab dalam keyakinan, manusia selalu takut akan nasib buruk setelah kematiannya. Sampai di sini persatuan dan kerukunan masyarakat sebagai sebuah komunitas budaya sedikit diguncang. Bagaimana tidak ? Anggota-anggotanya yang sudah lama bersatu seakan dikotakan. Yang paling menonjol dalam masyarakat budaya Keo adalah adanya kenyataan dua kelompok berbeda karena keyakinan, dalam satu kampung dan malahan satu rumah.
Sebuah tuntutan baru yang musti dikembangkan adalah sikap toleransi. Toleransi yang menghendaki adanya penerimaan terhadap perbedaan sebagai kekayaan di mana di dalamnya diciptakan sikap saling menerima perbedaan, memahami keyakinan dan saling mengerti tuntutan keyakinan yang berbeda. Namun, gejala negatif yang mulai menguat adalah justru pemaknaan yang keliru tentang nilai toleransi hidup beragama itu sendiri. Toleransi tidak lagi dimaknai sebagai tenggang rasa atau sikap memahami dan memberi ruang tetapi mulai mengarah kepada menerima perbedaan sebagai dasar pengkotakan. Banyak orang yang jauh berdiri, akan melihat bahwa dalam satu rumah adat atau kampung adat, terdapat sebuah pemisahan yang jelas antara yang muslim dan yang katolik. Contoh yang paling jelas akan tampak pada pemisahan antara piring yang islam dan yang katolik, gelas islam dan katolik serta perlengkapan dapur islam dan katolik. Ada penerimaan bahwa begitulah cara mereka bertoleransi. Yang katolik tidak mau menodai kebersamaannya dengan yang Islam hanya karena mencampur-adukan perlengkapan makan dan masak walaupun mereka tahu kalau mereka selalu mencuci perlengkapan masak dan makan mereka dengan sangat bersih setiap kali mereka selesai menggunakannya untuk daging-daging yang haram menurut Islam. Demikian juga yang Islam, dengan sendirinya akan berusaha menarik diri dari kelompok yang katolik jika berurusan dengan yang makan dan minum. Sekalipun mereka makan dari satu daging yang halal menurut Islam, tetapi mereka tetap makan sendiri-sendiri karena memang mereka mempunyai perlengkapan makan dan masaknya yang khusus, walupun mereka tahu kalau saudara-saudaranya yang Katolik selalu mencuci perlengkapan masak dan makannya dengan bersih toh mereka berpikir bahwa itu pernah digunakan untuk sesuatu yang haram. Permasalahannya adalah budaya rumah dan kampung menghendaki persatuan komunitasnya dalam sebuah seruan adat : “ka papa fala, minu papa pinda” yang berarti “:makan bersama dalam satu piring serta minum dari gelas yang sama secara bergantian”. Sekalipun tidak harus diterjemahkan secara harfiah, namun makna kebersamaan agaknya berbenturan dengan hukum haram dan halal agama Islam. Bagaimana mungkin makan bersama dalam satu rumah, kalau fakta berbicara tentang piring islam dan katolik? Beginikah kita memaknai toleransi?
Jawabannya adalah “tidak”. Kita adalah sebuah keluarga besar dan toleransi hidup beragama juga harus dipahami dalam konteks keluarga. Dalam toleransi keluarga, harusnya dihindari ketakutan-ketakutan atau perasaan was-was. Tidak boleh ada pikiran negatif dan keraguan. Dalam toleransi keluarga, tentunya tak ada yang dirugikan dan yang merugikan. Islam dan katolik adalah budaya baru yang lahir kemudian setelah kita lama hidup sebagai sebuah keluarga dalam keakraban yang mapan. Sebagai komunitas keluarga, sudah pasti tak ada sikap saling mencurigakan, saling menjaga, menghormati, memahami dan bahkan saling melindungi. Sebab kita adalah satu dan agama mestinya dilihat sebagai warna indah dalam komunitas yang justru semakin membuat kita dekat dan bersatu. Sehingga dalam kesatuan itu kita bisa berteriak lantang : mai kita to’o jogho wangga sama (mari kita bangkit dan bersama membangun)
Langganan:
Postingan (Atom)